Rabu, 03 Juni 2015

Dibalik Rutinitas Tanpa Batas





Kepala saya terasa berat akhir-akhir ini. Waktu istirahat pun terasa sempit. Mungkin karena faktor sederet rutinitas yang berjubel di bulan ini.  Walhasil, saya sendiri harus pandai-pandai mengatur waktu antara turun di lapangan dengan jam kuliah yang padat bukan kepalang. Ditambah tugas-tugas di semester empat yang tak kalah menumpuk.
Melihat  rutinitas yang terasa padat begini, mengatur waktu sudah barang tentu menjadi hal yang penting. Berusaha  mensiasati waktu agar tak habis dengan percuma.  Jika di pagi hari saya harus ke kampus, maka di siang hari saya banting stir ke lapangan untuk mencacah, (mendata red). Bahkan tak jarang saya masih di lapangan di jam sepuluh malam. Karena ada beberapa responden yang hanya dapat di jumpai di malam hari. (Berusaha menyesuaikan waktu dengan responden). Seperti itulah yang saya jalani pada survey sosial ekonomi bulan maret kemarin. Pun sama halnya dengan SUPAS (Survey Penduduk Antar Sensus). Survey yang satu ini tak kalah complicated. Dalam perlaksanaannya, pada survey ini kami bekerja secara tim. Dua orang pencacah lapangan dan satu orang pengawas. Kami harus menyelesaikan 10 blok sensus. Satu blok sensus terdiri dari 16 DSRT (Daftar Sample Ruta). Total ruta yang harus di cacah adalah 160 ruta. Dibagi dua pencacah lapangan, jadi adilnya satu orang harus menyelesaikan  80 ruta selama sebulan di bulan mei. Mitra yang dilibatkan adalah 10  orang termasuk saya.
Tak dapat dipungkiri, selain karena upah kerja yang didapatkan setelah menguras keringat di lapangan, tetapi karena ini bagian dari pelajaran dan pengalaman yang menjadi unsur utama saya melakoni. Saya akui, ilmu saya di bidang ini masih minim. Bukankah dari tidak tahu bisa menjadi tahu jika berusaha ingin tahu? Artinya belajar. Satu hal lagi yang saya akui, pekerjaan di BPS luar biasa complicated.
Badan Pusat Statistik  sebagai lembaga yang kredibel dalam menyajikan data yang  akurat  berdasar keadaan di lapangan, menjadikan BPS sebagai instansi pemerintah  yang memiliki andil dan peranan penting  dalam penyajian data yang mencerdaskan bangsa. KSK, (koordinator statistik kecamatan). Bertindak sebagai ujung tombak  BPS yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, secara tidak langsung diasah fisik dan mentalnya untuk bekerja dengan penuh integritas. Pun sama halnya dengan para mitra seperti saya.
Bagaimana tidak, medan yang di tempuh untuk memperoleh data tak dapat di pilih seenak hati. Seterjal apa pun medannya, serumit apapun surveinya, bahkan sejudes apapun respondennya, semua harus dapat di jalani, di lewati dan di dapatkan data yang sebenar-benarnya. Pun, harus pandai-pandai  memahami karakter setiap responden yang sudah tentu berbeda-beda dalam meladeni serentetan pertanyaan yang tertera di kuesioner.  Berusaha  bekerja  sebaik dan semampu yang kami bisa. Apa saja di lakukan yang penting tak keluar dari prosedur yang ada. Saya sepakat dengan pepatah turun temurun yang mengatakan bahwa guru yang paling berharga adalah pengalaman. Dan di BPS pulalah saya banyak belajar. Belajar untuk siap terjun di masyarakat.
            Sebagai orang yang sehari-hari berteman dengan lapangan ketika dikontrak untuk menyelesaikan survey pada blok yang dipercayakan, kendala sudah tentu sering di temui. Tantangan alam yang membutuhkan kekuatan fisik, belum lagi penolakan responden ynag menguji ketahanan mental membuat para mitra  harus bekerja ekstra. Pun sebelum turun di lapangan, kami telah dibekali oleh prosedur pelaksanaan yang runtut dan sistematis. Pelatihan dan keabsahan loyatitas kami sudah diuji dengan soal pendalaman. Saya yang merupakan mitra termuda untuk saat ini dan keberadaan saya di BPS Maros yang  masih seumur jagung, tak jarang dihadapkan dengan berbagai kendala dan pergolakan batin. Tapi syukur Alhamdulillah, saya selalu dibimbing oleh pengawas dan pegawai KSK lainnya yang membuat kami semkain akrab.
Pengalaman pertama kali adalah ketika updating survey sosial ekonomi nasional di Desa Marumpa, Kecamatan Marusu. Area asrama Toraja yang hampir semuanya adalah orang Toraja, mau tak mau mempertemukan saya dengan peliharaan mereka yang tak pernah absen melolongi saya. Membuat saya harus menguatkan mental dan ikat pinggang saya sekaligus lebih dan lebih. Untung saja, ada seorang bapak yang merupakan tokoh masyarakat di wilayah tersebut  berbaik hati menemani dan menunjukkan letak rumah beberapa kepala keluarga yang tertera di prepented pemutakhiran lima tahun yang lalu.  Guna untuk diketahui keberadaan terkini.  Syukur Alhamdulillah, dibalik kegarangan peliharaan mereka, ternyata ada majikan yang baik hati dan ramah tamah.
Biar saya bercerita sedikit. Pernah sekali pada saat melakukan pemutakhiran di sebuah rumah makan di blok area asrama toraja ini, seorang bapak bersuku jawa berusia 49 tahun yang merupakan pemilik rumah makan tersebut memberi saya makan siang semangkok bakso dan es teh sebelum pulang. Atau bertemu kakek tua bersuku Toraja berlogat jawa disebuah rumah kontrakan berdinding papan yang begitu banyak bercerita kepada saya bahkan menganggap saya seperti cucu beliau sendiri.  Pun disuguhkan minuman hangat dan perlakuan hangat dari tuan rumah sebuah ruta bersuku mamasa. Pada saat saya mendata di ruta tersebut, sang istri sedang hamil muda.  Sebelum saya beranjak pulang, sang suami berkelakar dan nyaris mengundang tawa kecil saya. Beliau mengatakan, “kalau anak saya perempuan, semoga dia ramah dan semanis anda.”
Dilain tempat, tepatnya Desa Nisombalia Kec. Marusu, saya pernah mendata sepasang suami istri dengan dua orang anaknya yang masih duduk di bangku SD. Di belakang ada seorang kakek yang tiba-tiba memeluk saya. Sontak membuat saya terkejut dan pendataan saya terhenti sejenak. Ketika saya berbalik, sang kakek itu pangling dikiranya saya cucu beliau yang lama tak datang mengunjunginya. Suami istri yang saya data menertawai sang kakek hingga kami terbawa dalam canda dan pembicaraan yang hangat. Setelah pendataan saya selesai di kuesioner pada lembar terakhir berkaitan surflus, utang, dan pendapatan ruta pertahun telah tuntas, saya pamit pulang dan menjabat tangan mereka yang ada di situ satu-satu. Saat berjabat dengan sang kakek, beliau mengelus kepala saya lalu berkata “Semoga tippakko bunting nak.” Lagi-lagi mengundang tawa kecil saya. Dalam hati, saya mengaminkan.
Dibalik lelah dan rutinitas tampa batas, selalu saja banyak kesan yang di hadirkan. Responden di desa yang mengikis rasa malas. Bersama mereka merasa dihujani do’a kebaikan karena saling merasa memiliki sebagai keluarga. Masih banyak kisah menyenangkan lainnya yang saya temui di lapangan saat mengumpulkan data. So, tetap syukuri rutinitas kita yang nyaris tampa batas. Sebab, ketika disyukuri justru mengundang berkah yang membahagiakan batin bukan?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar