Kepala saya terasa berat akhir-akhir
ini. Waktu istirahat pun terasa sempit. Mungkin karena faktor sederet rutinitas
yang berjubel di bulan ini. Walhasil,
saya sendiri harus pandai-pandai mengatur waktu antara turun di lapangan dengan
jam kuliah yang padat bukan kepalang. Ditambah tugas-tugas di semester empat
yang tak kalah menumpuk.
Melihat rutinitas yang terasa padat begini, mengatur
waktu sudah barang tentu menjadi hal yang penting. Berusaha mensiasati waktu agar tak habis dengan
percuma. Jika di pagi hari saya harus ke
kampus, maka di siang hari saya banting stir ke lapangan untuk mencacah,
(mendata red). Bahkan tak jarang saya masih di lapangan di jam sepuluh malam. Karena
ada beberapa responden yang hanya dapat di jumpai di malam hari. (Berusaha menyesuaikan
waktu dengan responden). Seperti itulah yang saya jalani pada survey sosial
ekonomi bulan maret kemarin. Pun sama halnya dengan SUPAS (Survey Penduduk
Antar Sensus). Survey yang satu ini tak kalah complicated. Dalam perlaksanaannya, pada survey ini kami bekerja
secara tim. Dua orang pencacah lapangan dan satu orang pengawas. Kami harus
menyelesaikan 10 blok sensus. Satu blok sensus terdiri dari 16 DSRT (Daftar Sample Ruta). Total ruta yang harus di cacah adalah 160 ruta. Dibagi dua
pencacah lapangan, jadi adilnya satu orang harus menyelesaikan 80 ruta selama sebulan di bulan mei. Mitra
yang dilibatkan adalah 10 orang termasuk
saya.
Tak dapat dipungkiri, selain karena
upah kerja yang didapatkan setelah menguras keringat di lapangan, tetapi karena
ini bagian dari pelajaran dan pengalaman yang menjadi unsur utama saya melakoni.
Saya akui, ilmu saya di bidang ini masih minim. Bukankah dari tidak tahu bisa
menjadi tahu jika berusaha ingin tahu? Artinya belajar. Satu hal lagi yang saya
akui, pekerjaan di BPS luar biasa complicated.
Badan Pusat Statistik sebagai lembaga yang kredibel dalam menyajikan
data yang akurat berdasar keadaan di lapangan, menjadikan BPS sebagai
instansi pemerintah yang memiliki andil
dan peranan penting dalam penyajian data
yang mencerdaskan bangsa. KSK, (koordinator statistik kecamatan). Bertindak sebagai
ujung tombak BPS yang langsung
bersentuhan dengan masyarakat, secara tidak langsung diasah fisik dan mentalnya
untuk bekerja dengan penuh integritas. Pun sama halnya dengan para mitra
seperti saya.
Bagaimana tidak, medan yang di tempuh
untuk memperoleh data tak dapat di pilih seenak hati. Seterjal apa pun
medannya, serumit apapun surveinya, bahkan sejudes apapun respondennya, semua
harus dapat di jalani, di lewati dan di dapatkan data yang sebenar-benarnya.
Pun, harus pandai-pandai memahami
karakter setiap responden yang sudah tentu berbeda-beda dalam meladeni serentetan
pertanyaan yang tertera di kuesioner. Berusaha bekerja sebaik dan semampu yang kami bisa. Apa saja di
lakukan yang penting tak keluar dari prosedur yang ada. Saya sepakat dengan
pepatah turun temurun yang mengatakan bahwa guru yang paling berharga adalah
pengalaman. Dan di BPS pulalah saya banyak belajar. Belajar untuk siap terjun
di masyarakat.
Sebagai
orang yang sehari-hari berteman dengan lapangan ketika dikontrak untuk
menyelesaikan survey pada blok yang dipercayakan, kendala sudah tentu sering di
temui. Tantangan alam yang membutuhkan kekuatan fisik, belum lagi penolakan
responden ynag menguji ketahanan mental membuat para mitra harus bekerja ekstra. Pun sebelum turun di
lapangan, kami telah dibekali oleh prosedur pelaksanaan yang runtut dan
sistematis. Pelatihan dan keabsahan loyatitas kami sudah diuji dengan soal
pendalaman. Saya yang merupakan mitra termuda untuk saat ini dan keberadaan saya di BPS Maros
yang masih seumur jagung, tak jarang
dihadapkan dengan berbagai kendala dan pergolakan batin. Tapi syukur
Alhamdulillah, saya selalu dibimbing oleh pengawas dan pegawai KSK lainnya yang
membuat kami semkain akrab.
Pengalaman pertama kali adalah ketika
updating survey sosial ekonomi nasional di Desa Marumpa, Kecamatan Marusu. Area
asrama Toraja yang hampir semuanya adalah orang Toraja, mau tak mau mempertemukan
saya dengan peliharaan mereka yang tak pernah absen melolongi saya. Membuat
saya harus menguatkan mental dan ikat pinggang saya sekaligus lebih dan lebih.
Untung saja, ada seorang bapak yang merupakan tokoh masyarakat di wilayah
tersebut berbaik hati menemani dan
menunjukkan letak rumah beberapa kepala keluarga yang tertera di prepented pemutakhiran lima tahun yang
lalu. Guna untuk diketahui keberadaan
terkini. Syukur Alhamdulillah, dibalik kegarangan peliharaan mereka, ternyata ada
majikan yang baik hati dan ramah tamah.
Biar saya bercerita sedikit. Pernah
sekali pada saat melakukan pemutakhiran di sebuah rumah makan di blok area asrama toraja ini, seorang bapak
bersuku jawa berusia 49 tahun yang merupakan pemilik rumah makan tersebut
memberi saya makan siang semangkok bakso dan es teh sebelum pulang. Atau
bertemu kakek tua bersuku Toraja berlogat jawa disebuah rumah kontrakan
berdinding papan yang begitu banyak bercerita kepada saya bahkan menganggap
saya seperti cucu beliau sendiri. Pun
disuguhkan minuman hangat dan perlakuan hangat dari tuan rumah sebuah ruta
bersuku mamasa. Pada saat saya mendata di ruta tersebut, sang istri sedang
hamil muda. Sebelum saya beranjak
pulang, sang suami berkelakar dan nyaris mengundang tawa kecil saya. Beliau
mengatakan, “kalau anak saya perempuan, semoga dia ramah dan semanis anda.”
Dilain tempat, tepatnya Desa
Nisombalia Kec. Marusu, saya pernah mendata sepasang suami istri dengan dua
orang anaknya yang masih duduk di bangku SD. Di belakang ada seorang kakek yang
tiba-tiba memeluk saya. Sontak membuat saya terkejut dan pendataan saya
terhenti sejenak. Ketika saya berbalik, sang kakek itu pangling dikiranya saya
cucu beliau yang lama tak datang mengunjunginya. Suami istri yang saya data
menertawai sang kakek hingga kami terbawa dalam canda dan pembicaraan yang
hangat. Setelah pendataan saya selesai di kuesioner pada lembar terakhir
berkaitan surflus, utang, dan pendapatan ruta pertahun telah tuntas, saya pamit
pulang dan menjabat tangan mereka yang ada di situ satu-satu. Saat berjabat
dengan sang kakek, beliau mengelus kepala saya lalu berkata “Semoga tippakko bunting nak.” Lagi-lagi
mengundang tawa kecil saya. Dalam hati, saya mengaminkan.
Dibalik lelah dan rutinitas tampa batas,
selalu saja banyak kesan yang di hadirkan. Responden di desa yang mengikis rasa
malas. Bersama mereka merasa dihujani do’a kebaikan karena saling merasa
memiliki sebagai keluarga. Masih banyak
kisah menyenangkan lainnya yang saya temui di lapangan saat mengumpulkan data.
So, tetap syukuri rutinitas kita yang nyaris tampa batas. Sebab, ketika
disyukuri justru mengundang berkah yang membahagiakan batin bukan?!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar