Selasa, 20 Oktober 2015

Selepas Kepergianmu



Mardhotilla.wordpress.com

Masih belajar tegar, tumbuh jadi gadis remaja bermata jelaga.
Disuapi bulir-bulir nasi yang di punguti dengan peluh keringat seorang ibu berpipi makin tirus dengan uban di kepala.

Masih cukup merasa kuat, dengan kaki kecil liar mengelilingi alur jejakkan langkah tuk singgah menyinggahi ujung pukul ujung.

Berjuang berteman teguh terkadang rapuh tersaput segudang remeh temeh yang buat urat mata perih hingga tetes embun dari mata jadi pilihan terakhir.

Langkahku terkadang terkilir. Letih jariku mengukir, kadang rela terjungkir

Terlahir bukan untuk jadi dia yang begini begitu pun bukan tuk serupa siapa-siapa.

Bahwa hidup tak serta merta beratap bayang-bayang kemolekan di zaman milenium ini. Berlenggok dengan tas penuh isi dan jam tangan bermerk. Gincu mentereng di bibir, sepatu merk termasyur membalut kaki. Terkadang, ingin rasai jadi anak perempuan bergelung kemewahan berkat dari lembar demi lembar menyembul dari saku orang tua.

Tapi hidup  tak selalu cerah, kadang kilat menyambar. Berkabut kelam menyusul tetes demi tetes guyuran tanya. Nyaris alam muntab.

Ini jalan takdirku, anak dengan bayang tiang penyangga  yang terlampau cepat berlalu untuk sekedar tetap tinggal mengguyuri seruas lebih luas sejengkal kali jengkal kasih sayang.

Hanya luka pada kata rindu yang enggan ku telan, ku tulis tuk kekal bahwa haruslah begitu untuk lebih kuat dan tak kalah pada nyata.

Rindu anakmu pada tatap itu, sudah pilu ini hati merintih berdiri tertatih-tatih. Menanti dibalik bilik yang diusahakan ibu setengah mati tuk kami teduhi di segala jenis cuaca di segala macam musim. Jua saat hujan orang mati.

Di titian lika liku itu, ada letih selebih letih hati dan nalarku.
 Ibu...saya tahu dirimu lebih letih dibalik seonggok keluhku yang jejali gendang telingamu hampir setiap hari.

Tapi Ibu, sudah berapa lama hatimu dibungkus rasa syukur yang buatmu kuat meski tuk kali berapa dirimu tersungkur?

Pilu sepilu pilunya hati dengan tatap nanar. Tangis serak tercekat, terbatuk batuk mengulang cerita ditinggal. Sudah tak kan lagi jika berharap terbayar dengan temu lewat bola mata fana ini.

Disini,anakmu diringkus angin malam kering kerontang kemarau panjang, ditemani cipratan debur ombak bersekutu pecahkan hening. Menatap langit malam, menghitung bintang-bintang. Menghitung kemustahilan.

Menatap langit malam seperti ini, anakmu jadi ingat, pada tulisan teman ia tuturkan bahwa do’a itu punya lengan yang panjang. Bisa menjangkau lapisan langit, orang-orang dan masa depan dalam satu kali pelukan.

Dan do’a-do’a tertata sejak jauh-jauh hari sudah berlembar-lembar terserak jika kutintakan sampai kini. Semoga turut bahagia dirimu disana, sebab terkirim sebait dua bait seruas lebih luas, sejengkal kali jengkal rindu berbalut do’a  dari anak sulung sampai bungsu yang sudah tak lagi disusui

 Do'a-do’a terangkum hingga kini memeluk kita  erat, sudah lekat merekat meski tak nyala dalam peluk cerlang, biar pelupuk mata sudah kering, rindu telah lindap.  Sebab yang terpenting do’a-do’a menjembatani kita pak, sebagai amalan tak terputus selepas kepergianmu.

Tanjung bayang, 10 oktober 2015
rindu bapak
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar