![]() |
| Mardhotilla.wordpress.com |
Disuapi bulir-bulir
nasi yang di punguti dengan peluh keringat seorang ibu berpipi makin tirus dengan
uban di kepala.
Masih cukup merasa
kuat, dengan kaki kecil liar mengelilingi alur jejakkan langkah tuk singgah menyinggahi ujung pukul ujung.
Berjuang berteman teguh
terkadang rapuh tersaput segudang remeh temeh yang buat urat mata perih hingga
tetes embun dari mata jadi pilihan terakhir.
Langkahku terkadang
terkilir. Letih jariku mengukir, kadang rela terjungkir
Terlahir bukan
untuk jadi dia yang begini begitu pun bukan tuk serupa siapa-siapa.
Bahwa hidup tak serta merta beratap bayang-bayang kemolekan di zaman milenium ini. Berlenggok dengan tas
penuh isi dan jam tangan bermerk. Gincu mentereng di bibir, sepatu merk
termasyur membalut kaki. Terkadang, ingin rasai jadi anak perempuan bergelung
kemewahan berkat dari lembar demi lembar menyembul dari saku orang tua.
Tapi hidup tak selalu cerah, kadang kilat menyambar. Berkabut kelam menyusul tetes demi tetes guyuran tanya. Nyaris alam muntab.
Ini jalan takdirku,
anak dengan bayang tiang penyangga yang terlampau cepat berlalu untuk sekedar tetap
tinggal mengguyuri seruas lebih luas sejengkal kali jengkal kasih sayang.
Hanya luka pada
kata rindu yang enggan ku telan, ku tulis tuk kekal bahwa haruslah begitu untuk
lebih kuat dan tak kalah pada nyata.
Rindu anakmu pada
tatap itu, sudah pilu ini hati merintih berdiri tertatih-tatih. Menanti dibalik
bilik yang diusahakan ibu setengah mati tuk kami teduhi di segala jenis cuaca
di segala macam musim. Jua saat hujan orang mati.
Di titian lika liku
itu, ada letih selebih letih hati dan nalarku.
Ibu...saya tahu dirimu lebih
letih dibalik seonggok keluhku yang jejali gendang telingamu hampir setiap
hari.
Tapi Ibu, sudah
berapa lama hatimu dibungkus rasa syukur yang buatmu kuat meski tuk kali berapa
dirimu tersungkur?
Pilu sepilu pilunya
hati dengan tatap nanar. Tangis serak tercekat, terbatuk batuk mengulang cerita
ditinggal. Sudah tak kan lagi jika berharap terbayar dengan temu lewat bola
mata fana ini.
Disini,anakmu
diringkus angin malam kering kerontang kemarau panjang, ditemani cipratan
debur ombak bersekutu pecahkan hening. Menatap langit malam, menghitung
bintang-bintang. Menghitung kemustahilan.
Menatap langit
malam seperti ini, anakmu jadi ingat, pada tulisan teman ia tuturkan bahwa do’a
itu punya lengan yang panjang. Bisa menjangkau lapisan langit, orang-orang dan
masa depan dalam satu kali pelukan.
Dan do’a-do’a
tertata sejak jauh-jauh hari sudah berlembar-lembar terserak jika kutintakan
sampai kini. Semoga turut bahagia dirimu disana, sebab terkirim sebait
dua bait seruas lebih luas, sejengkal kali jengkal rindu berbalut do’a dari anak sulung sampai bungsu yang sudah tak
lagi disusui
Do'a-do’a terangkum hingga kini memeluk kita erat, sudah lekat
merekat meski tak nyala dalam peluk cerlang, biar pelupuk mata sudah kering, rindu telah lindap. Sebab yang terpenting do’a-do’a menjembatani kita pak, sebagai amalan tak terputus
selepas kepergianmu.
Tanjung bayang, 10
oktober 2015
rindu bapak
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar