Senin, 27 Oktober 2014

Coretan. Dongeng Pagi.

Pagi belum beranjak dari damainya. Aku terkejut, ketika sesosok perempuan gempal yang tak
lagi muda itu memasuki kamarku dengan membawa bungkusan plastik berwarna putih. Di dalamnya berisi dua bungkus biskuit kacang kesukaanku. Ia datang menanyakan keadaanku. Di pandangnya wajahku lamat- lamat.  Mengamati  bekas cacarku lalu mengomentarinya. Bibirnya terlihat mentereng dengan polesan gincu berwarna merah. Ia tertawa sedikit, giginya yang rata terlihat mulai menguning.  Aku yang tengah duduk di kursi plastik berwarna toska membolak-balik lembar buku catatan mata kuliahku sambil menjawab serentetan pertanyaannya.  Dia bilang, ada beberapa buah jagung muda yang ia bawa untukku. ”Pakailah untuk mengobati bekas cacarmu”. Ujarnya seraya duduk di kasur busaku yang empuk. Lalu mengomentari lagi letak tempat tidurku yang  tidak seperti biasa letaknya. "Biasanya tak menghadap ke timur".  Ujarnya dengan liar mata jelalatan. Memperhatikan setiap sudut kamarku. Ku bilang, sudah ku rubah letaknya sebelum lebaran Idul fitri kemarin. 


Mamaku menyusul, memasuki ruang kamarku yang tak berplafon ini. Ia menjelaskan keadaanku lalu menyibak daster yang ku kenakan hingga nyaris melebihi atas lututku. Memperlihatkan butir-butir cacar ditubuhku kepada wanita bertubuh gempal itu. Lalu pundakku. Aku selalu merasa tak riskan jika diperlakukan seperti ini. Apa untungnya memamerkan cacarku hingga seluruh sisi tubuhku yang ringkih ini kepada setiap orang yang datang membesukku? Dumalku dalam hati. Cukuplah bentol di wajah dan tanganku menjelaskan kondisiku. 


Keduanya lalu tenggelam dalam perbincangan yang hangat. Tema pembicaraan mulai menjalar kemana-mana. Memilih duduk di ruang tamu dan meninggalkanku seorang diri di kamar seperti tahanan yang di sel, di tengok lalu ditinggalkan. Ku raih cermin mini berwarna putih yang tergeletak manis di atas meja kayuku. Merayapi wajahku sendiri dengan mata sayuku pada pantulan cermin. Ku hitung jumlah butir cacar di wajah dan mengelus pipiku yang mulai terlihat kumal, Sudah seminggu tak di perbolehkan terkena air.  Tak terlalu banyak, hanya serupa bekas jerawat batu yang bisa di hitung satu-satu. Ku mohon ini saja Tuhan. Bisikku lirih. 


Pandanganku menyapu keadaan sekitar kamar. Sudah terlihat rapi. Sebelum perempuan gempal itu datang, aku sudah merapikannya. Termasuk kasurku. Tapi nampaknya seprei kasurku kerapiannya sedikit kucel. Itu karena sudah diduduki beberapa menit oleh wanita gempal itu. Oh tak mengapa. Ia datang kemari dengan niatan baik. Menengokku, juga membawa biskuit kacang kesukaannku.


Kejenuhan bisa saja datang seenak hati. Kurasa, diriku mulai disergap jenuh yang meraja. Jenuh yang diakibatkan oleh kegiatan yang seperti kosong melompong. Seminggu tak kemana-mana, meski kepalaku tak berhenti untuk berfikir. Ada beberapa hal yang serasa bertindihan di kepala untuk difikirkan. Mereka saling bertubrukan, merecoki isi kepala. Lalu membawaku pada lelah yang tak berkesudahan. Sejenuh-jenuhnya diriku, aku selalu mempunyai cara untuk membunuhnya. Menengok dan mengunjungi beberapa blog menjadi wahana pengusir jenuh bin suntuk ku akhir-akhir ini. Itu terbukti membantu. Ada beberapa tulisan yang tersuguhkan di sana. Masing-masing pemilik blog memiliki ciri khas tersendiri. Mereka begitu lihai menuliskan segala hal yang mereka alami atau hal-hal yang baru. Terasa mengigit karena tema yang di usung unik dan menarik. Itu sungguh mempengaruhi moodku. 


Aku tenggelam pada beberapa bacaan yang serupa membawaku ke tempat di mana latar kejadian pada sebuah tulisan itu terjadi. Aku seperti di rasuki roh kata-kata yang membuatku kesurupan hingga selalu ingin merangkai kata setelah tiap kali membaca beberapa tulisan yang tersaji. Seperti karya kak Irhyl R Makkatutu misalnya, selalu memaparkan berdasarkan kearifan lokal suku bugis Makassar. Itu menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran, cerpen-cerpennya sering kali di muat di koran harian lokal. Seperti cerpen yang berjudul "Kencani Rindu". Menceritakan sosok lelaki tua bersusia 63 tahun yang merasa lebih muda 17 tahun saat turun gerimis. Ia hidup seorang diri setelah ditinggal cerai istrinya yang ogah akan kebiasaannya. Yakni, mengejar kunang-kunang setiap malam dan dimasukkan ke dalam botol. Kebiasaan yang aneh dan gila. Mengejar kunang-kunang adalah kebiasaan masa kecilnya bersama Sanami. Perempuan yang hilang dan tak pernah kembali sejak peristiwa angin kencang beberapa tahun silam dalam cerita itu.

 _ _ _

Dalam kediamanku mengusir jenuh, masih terdengar samar-samar pembicaraan perempuan yang telah menjadi ibu itu. Tak lain tak bukan,  mereka adalah mamaku dan perempuan gempal itu. Pembicaraan mereka tau-tau telah merebak hingga membicarakan anak tetangga depan rumah yang kuliah di salah satu kampus elite yang ada di kota Makassar. Mereka prihatin, lantaran pembayaran yang membludak dan kondisi ayah anak tetangga itu yang tak lain adalah suaminya sepupuku yang memperihatinkan. Tangan kanannya bengkak. Orang sini menamainya sakit “androng Puru”. Puru yang paling membahayakan. Sudah sebulan tidak bekerja. Bukan hanya itu, mereka mulai membicarakan kelakuan anak gadisnya pula yang tidak lain adalah kemanakanku. Lalu menyusul  beberapa komentar  pedas menurut hemat mereka. Entahlah, dan pembicaraan pun sudah serupa gosip pagi hari ala ibu-ibu. Pembicaraan yang menyusup perlahan dan membekukan gendang telingaku. 


Mataku sudah dijamah lelah dan kantuk, dan mereka masih saja membicarakan banyak hal. Meja, kursi sofa, orden dan tembok ruang tamu seolah sudah ketar-ketir mendengar dongeng mereka. Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih jika terlalu lama menelanjangi layar smartphoneku. Aku memilih memadamkan data, lalu mencargernya. Kembali menyandarkan punggung di sandaran kursi plastik berwarna toska ini. Lalu menyalakan NB, memilih bergumul dengan tust keyboard. Mungkin ini alternatif lain untuk membunuh jenuh plus kantukku. Pamali’ seorang gadis tidur di waktu pagi sebelum duhur. Orang tua melarang anaknya tidur di waktu pagi untuk menghindari sakit muda. “Garring lolo”. Serupa penyakit yang hanya menyerang anak muda, dan mengakibatkan penderitannya tidak normal lagi otaknya. Hanya memandang orang terdekatnya dengan tatapan nanar. Seolah tak lagi mengenal mereka. Lakon tubuhnya pun tak lagi seperti biasa, jika seorang wanita, ia sudah tak lagi memiliki animo bangun pagi untuk mandi atau bersolek. Ia hanya duduk tergugu seperti tak lagi memiliki gairah hidup dan tak terurus. Akhir tragis yang bikin miris dari penyakit ini adalah kematian di usia muda. Naudzubillah Minzalik.

_ _ _

Suara di ruang tamu mulai meredup. Mungkin kehabisan bahan untuk di bicarakan atau energi di otot muka mereka sudah terkuras. Terlihat dari balik pintu kamarku, keduanya berjalan menuju dapur. Perempuan gempal itu masuk melalui pintu belakang. Sepertinya dia sudah mau pamit pulang. Karena dia masuk dari pintu belakang, maka ia pun keluar dari pintu yang sama. Sudah tentu demikian, karena sendal jepitnya pun berada di pintu belakang. 


Dia hanya pamit ke mamaku. Ke saya, tidak. Padahal tujuan awalnya adalah menegokku. Sudah kuduga, ia datang sekaligus membawa berita terhangat menurut versinya. Lalu membahasnya dan merubah suasana menjadi bergosip ria. Sudah jadi kebiasaannya demikian. Kalau mamaku yang ia temui, maka kepada mamaku ia akan menuntaskan ocehan miringnya. Jika sudah demikian, mamaku hanya akan meladeninya seadanya. Seperti bagaimana ia meladeni setiap berita terhangat yang dibawanya berkarung-karung pagi tadi. Ia bisa saja membicarakan seiisi kampung. Ia akan bersemangat meskipun perut masih kosong, dan tumpukan pakaian di atas ember masih mengapung. 


Mamaku terlalu amat sering curhat kecolongan padaku. Terkadang, jika hatinya seperti di hujam belati, maka bulir bulir air mata akan merembes dan membasahi kulit pipinya yang mulai menua. Perempuan bertubuh gempal itu pelakunya. Ia terlalu sering menjadi kan mamaku korban sakit hati. Baiknya, karena mama tidak pernah menaruh dendam. Jika pagi tadi ia meladeni dongeng-dongeng perempuan gempal itu seadanya, mungkin esok diirnya lagi yang akan di jadikan pemain utama dalam dongeng yang dikemasnya. Apatah kemudian menceritakan kepada tetangga samping rumah lalu tetangga samping rumah yang telah di recoki telinganya akan menyampaikan kepada mamaku. Seperti kemarin kemarin itu. Akh.....kehidupan. Seperti itukah lakonnya? Dan pagi ini, perempuan gempal itu datang sebagai malaikat kepadaku. Kepada anak yang ibunya sering ia buat sakit hati.  Membawakan dua bungkus biskuit kacang kesuakaanku dan beberapa buah jagung muda untuk membaluri bekas cacarku. Terimakasih untuk itu. ^:^


Ma’ sudah ku katakan, tetaplah berlaku di jalan yang semestinya. Biarkan mereka mau berkata apa. Pengabdianmu hanyalah pada pemilik usia dan merawat anak-anakmu tampa suami adalah ibadah. Jika kemarin, mereka laksana serigala yang beringas, hari ini mereka menjelma malaikat kesiangan. Esok-esok mereka bisa saja menjelma ular beracun. Inilah kehidupan. Jangan menaruh dendam yah maa. Mama adalah wanita yang kuat. Allah Maha Tahu.



Di pagi yang cerah. Serupa mendongeng tentangku, tentang mama, tentang perempuan gempal itu yang tak lain adalah  Istri sepupuku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar