Pagi belum beranjak dari
damainya. Aku terkejut, ketika sesosok perempuan gempal yang tak
lagi muda itu memasuki kamarku
dengan membawa bungkusan plastik berwarna putih. Di dalamnya berisi dua bungkus
biskuit kacang kesukaanku. Ia datang menanyakan keadaanku. Di pandangnya wajahku
lamat- lamat. Mengamati bekas cacarku lalu mengomentarinya. Bibirnya
terlihat mentereng dengan polesan gincu berwarna merah. Ia tertawa sedikit,
giginya yang rata terlihat mulai menguning.
Aku yang tengah duduk di kursi plastik berwarna toska membolak-balik
lembar buku catatan mata kuliahku sambil menjawab serentetan
pertanyaannya. Dia bilang, ada beberapa
buah jagung muda yang ia bawa untukku. ”Pakailah untuk mengobati bekas
cacarmu”. Ujarnya seraya duduk di kasur busaku yang empuk. Lalu mengomentari
lagi letak tempat tidurku yang tidak
seperti biasa letaknya. "Biasanya tak menghadap ke timur". Ujarnya dengan liar mata jelalatan. Memperhatikan setiap sudut kamarku. Ku bilang, sudah ku
rubah letaknya sebelum lebaran Idul fitri kemarin.
Mamaku menyusul, memasuki ruang
kamarku yang tak berplafon ini. Ia menjelaskan keadaanku lalu menyibak daster yang
ku kenakan hingga nyaris melebihi atas lututku. Memperlihatkan butir-butir cacar ditubuhku
kepada wanita bertubuh gempal itu. Lalu pundakku. Aku selalu merasa tak riskan
jika diperlakukan seperti ini. Apa untungnya memamerkan cacarku hingga seluruh
sisi tubuhku yang ringkih ini kepada setiap orang yang datang membesukku?
Dumalku dalam hati. Cukuplah bentol di wajah dan tanganku menjelaskan
kondisiku.
Keduanya lalu tenggelam dalam
perbincangan yang hangat. Tema pembicaraan mulai menjalar kemana-mana. Memilih
duduk di ruang tamu dan meninggalkanku seorang diri di kamar seperti tahanan
yang di sel, di tengok lalu ditinggalkan. Ku raih cermin mini berwarna putih
yang tergeletak manis di atas meja kayuku. Merayapi wajahku sendiri dengan mata
sayuku pada pantulan cermin. Ku hitung jumlah butir cacar di wajah dan mengelus
pipiku yang mulai terlihat kumal, Sudah seminggu tak di perbolehkan terkena
air. Tak terlalu banyak, hanya serupa
bekas jerawat batu yang bisa di hitung satu-satu. Ku mohon ini saja Tuhan.
Bisikku lirih.
Pandanganku menyapu keadaan
sekitar kamar. Sudah terlihat rapi. Sebelum perempuan gempal itu datang, aku sudah
merapikannya. Termasuk kasurku. Tapi nampaknya seprei kasurku kerapiannya
sedikit kucel. Itu karena sudah diduduki beberapa menit oleh wanita gempal itu.
Oh tak mengapa. Ia datang kemari dengan niatan baik. Menengokku, juga membawa
biskuit kacang kesukaannku.
Kejenuhan bisa saja datang seenak
hati. Kurasa, diriku mulai disergap jenuh yang meraja. Jenuh yang diakibatkan
oleh kegiatan yang seperti kosong melompong. Seminggu tak kemana-mana, meski
kepalaku tak berhenti untuk berfikir. Ada beberapa hal yang serasa bertindihan
di kepala untuk difikirkan. Mereka saling bertubrukan, merecoki isi kepala.
Lalu membawaku pada lelah yang tak berkesudahan. Sejenuh-jenuhnya diriku,
aku selalu mempunyai cara untuk membunuhnya. Menengok dan mengunjungi beberapa
blog menjadi wahana pengusir jenuh bin suntuk ku akhir-akhir ini. Itu terbukti
membantu. Ada beberapa tulisan yang tersuguhkan di sana. Masing-masing pemilik
blog memiliki ciri khas tersendiri. Mereka begitu lihai menuliskan segala hal
yang mereka alami atau hal-hal yang baru. Terasa mengigit karena tema yang di
usung unik dan menarik. Itu sungguh mempengaruhi moodku.
Aku tenggelam pada beberapa
bacaan yang serupa membawaku ke tempat di mana latar kejadian pada sebuah
tulisan itu terjadi. Aku seperti di rasuki roh kata-kata yang membuatku
kesurupan hingga selalu ingin merangkai kata setelah tiap kali membaca beberapa
tulisan yang tersaji. Seperti karya kak Irhyl R Makkatutu misalnya, selalu
memaparkan berdasarkan kearifan lokal suku bugis Makassar. Itu menjadi daya
tarik tersendiri. Tak heran, cerpen-cerpennya sering kali di muat di koran
harian lokal. Seperti cerpen yang berjudul "Kencani Rindu". Menceritakan
sosok lelaki tua bersusia 63 tahun yang merasa lebih muda 17 tahun saat turun
gerimis. Ia hidup seorang diri setelah ditinggal cerai istrinya yang ogah akan
kebiasaannya. Yakni, mengejar kunang-kunang setiap malam dan dimasukkan ke
dalam botol. Kebiasaan yang aneh dan gila. Mengejar kunang-kunang adalah
kebiasaan masa kecilnya bersama Sanami. Perempuan yang hilang dan tak pernah
kembali sejak peristiwa angin kencang beberapa tahun silam dalam cerita itu.
_ _ _
Dalam kediamanku mengusir jenuh,
masih terdengar samar-samar pembicaraan perempuan yang telah menjadi ibu itu. Tak
lain tak bukan, mereka adalah mamaku dan perempuan gempal itu. Pembicaraan mereka tau-tau telah merebak hingga membicarakan
anak tetangga depan rumah yang kuliah di salah satu kampus elite yang ada di
kota Makassar. Mereka prihatin, lantaran pembayaran yang membludak dan kondisi
ayah anak tetangga itu yang tak lain adalah suaminya sepupuku yang
memperihatinkan. Tangan kanannya bengkak. Orang sini menamainya sakit “androng
Puru”. Puru yang paling membahayakan. Sudah sebulan tidak bekerja. Bukan hanya
itu, mereka mulai membicarakan kelakuan anak gadisnya pula yang tidak lain
adalah kemanakanku. Lalu menyusul
beberapa komentar pedas menurut
hemat mereka. Entahlah, dan pembicaraan pun sudah serupa gosip pagi hari ala
ibu-ibu. Pembicaraan yang menyusup perlahan dan membekukan gendang telingaku.
Mataku sudah dijamah lelah dan
kantuk, dan mereka masih saja membicarakan banyak hal. Meja, kursi sofa, orden
dan tembok ruang tamu seolah sudah ketar-ketir mendengar dongeng mereka. Aku
mengalihkan pandangan. Mataku perih jika terlalu lama menelanjangi layar
smartphoneku. Aku memilih memadamkan data, lalu mencargernya. Kembali
menyandarkan punggung di sandaran kursi plastik berwarna toska ini. Lalu
menyalakan NB, memilih bergumul dengan tust keyboard. Mungkin ini alternatif
lain untuk membunuh jenuh plus kantukku. Pamali’ seorang gadis tidur di waktu
pagi sebelum duhur. Orang tua melarang anaknya tidur di waktu pagi untuk
menghindari sakit muda. “Garring lolo”. Serupa penyakit yang hanya menyerang
anak muda, dan mengakibatkan penderitannya tidak normal lagi otaknya. Hanya
memandang orang terdekatnya dengan tatapan nanar. Seolah tak lagi mengenal
mereka. Lakon tubuhnya pun tak lagi seperti biasa, jika seorang wanita, ia
sudah tak lagi memiliki animo bangun pagi untuk mandi atau bersolek. Ia hanya
duduk tergugu seperti tak lagi memiliki gairah hidup dan tak terurus. Akhir
tragis yang bikin miris dari penyakit ini adalah kematian di usia muda.
Naudzubillah Minzalik.
_ _ _
Suara di ruang tamu mulai
meredup. Mungkin kehabisan bahan untuk di bicarakan atau energi di otot muka
mereka sudah terkuras. Terlihat dari balik pintu kamarku, keduanya berjalan
menuju dapur. Perempuan gempal itu masuk melalui pintu belakang. Sepertinya dia
sudah mau pamit pulang. Karena dia masuk dari pintu belakang, maka ia pun
keluar dari pintu yang sama. Sudah tentu demikian, karena sendal jepitnya pun
berada di pintu belakang.
Dia hanya pamit ke mamaku. Ke
saya, tidak. Padahal tujuan awalnya adalah menegokku. Sudah kuduga, ia datang
sekaligus membawa berita terhangat menurut versinya. Lalu membahasnya dan
merubah suasana menjadi bergosip ria. Sudah jadi kebiasaannya demikian. Kalau
mamaku yang ia temui, maka kepada mamaku ia akan menuntaskan ocehan miringnya. Jika sudah demikian, mamaku hanya akan meladeninya seadanya. Seperti
bagaimana ia meladeni setiap berita terhangat yang dibawanya berkarung-karung
pagi tadi. Ia bisa saja membicarakan seiisi kampung. Ia akan bersemangat
meskipun perut masih kosong, dan tumpukan pakaian di atas ember masih
mengapung.
Mamaku terlalu amat sering curhat
kecolongan padaku. Terkadang, jika hatinya seperti di hujam belati, maka bulir
bulir air mata akan merembes dan membasahi kulit pipinya yang mulai menua. Perempuan bertubuh gempal itu pelakunya. Ia terlalu sering menjadi kan mamaku
korban sakit hati. Baiknya, karena mama tidak pernah menaruh dendam. Jika pagi
tadi ia meladeni dongeng-dongeng perempuan gempal itu seadanya, mungkin esok
diirnya lagi yang akan di jadikan pemain utama dalam dongeng yang dikemasnya.
Apatah kemudian menceritakan kepada tetangga samping rumah lalu tetangga
samping rumah yang telah di recoki telinganya akan menyampaikan kepada mamaku.
Seperti kemarin kemarin itu. Akh.....kehidupan. Seperti itukah lakonnya? Dan
pagi ini, perempuan gempal itu datang sebagai malaikat kepadaku. Kepada anak yang ibunya sering ia buat sakit hati. Membawakan
dua bungkus biskuit kacang kesuakaanku dan beberapa buah jagung muda untuk membaluri bekas
cacarku. Terimakasih untuk itu. ^:^
Ma’ sudah ku katakan, tetaplah berlaku di jalan yang semestinya.
Biarkan mereka mau berkata apa. Pengabdianmu hanyalah pada pemilik usia dan
merawat anak-anakmu tampa suami adalah ibadah. Jika kemarin, mereka laksana serigala
yang beringas, hari ini mereka menjelma malaikat kesiangan. Esok-esok mereka
bisa saja menjelma ular beracun. Inilah kehidupan. Jangan menaruh dendam yah maa. Mama adalah wanita yang kuat. Allah
Maha Tahu.
Di pagi yang cerah. Serupa mendongeng tentangku, tentang mama, tentang perempuan gempal itu yang tak lain adalah Istri sepupuku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar