Manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, bahkan pun ketika kau
melakukan sesuatu tampa sadar menurut orang lain itu tak sesuai dengan sopan
versinya
Saya harus
menunggu. Kepala lurah yang baru saya ketahui seorang perempuan itu melayani
warga di dalam ruangan miliknya. Para staf Kelurahan berseliweran mengenakan
batik berwarna biru. Sebahagian sibuk mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Diantaranya sibuk merampungkan
data jumlah kepala keluarga di kelurahan itu yang belum tuntas. Ada pula staf
ibu-ibu yang duduk bersisian di tangga depan kantor sambil sibuk bercerita.
Membahas keruwetan pekerjaan mereka di rumah. Juga suara anak-anak mereka yang
bermain di teras kantor, berkejar-kejaran sambil menjerit-jerit atau tertawa
lugu. Sebagian ada pula yang pergi, katanya akan ke pasar. Berhubung hari itu hari
jumat. Hari pasarnya di kelurahan tersebut.
Saya membolak balik beberapa lembar kertas
dorslage. Kertas yang membantu pekerjaanku di lapangan. Titik jenuh mulai mengepul di ubun-ubun. Kertas
itu belum menjelaskan jumlah muatan secara gamblang. Tiga blok sensus di
kelurahan tersebut. Ketiganya merupakan pusat kegiatan ekonomi yang
masyarakatnya lumayan padat. Sebelum ke kantor kelurahan membawa surat tugas
yang tergeletak tak berdaya di hadapanku itu, saya sudah terlebih dahulu terjun
menyusuri blok tersebut. Satu blok sudah menerangkan gambaran jumlah muatan
pada peta. Berkat ketua Rt 02 yang
lumayan terbuka untuk dimintai keterangan. Berbeda dengan RT 03, yang tidak
tahu betul jumlah muatan di RT nya tersebut. Justru menyarankan agar saya
menghitungnya satu persatu. Melihat deretan rumah yang padatnya tak kepalang
tanggung, membuat saya berfikir beberapa kali. Toh ini jumlah perkiraan. Bisa
saja lebih, jua bisa kurang. Kalau pass lebih bagus lagi. Setidaknya ketua RT
dapat memiliki gambaran akan wilayahnya sendiri. Kurang lebih seperti itu.
Saya mulai
disinggahi rasa jenuh ketika menunggu lebih sejam di teras kantor kelurahan.
Hati saya seketika lega ketika kulihat warga Ibu lurah itu beranjak
meninggalkan ruangan beliau. Tak lama suara motor matic nya yang berwarna hitam berdesing menyusul suara klakson
tanda pamit kepada ibu-ibu staf kantor yang masih asyik duduk bersisian. Ini
giliran saya menemui beliau. Batin saya.
Kertas
dorslage yang bertebaran di atas meja luar itu segera kurapikan. Melipat
kertas-kertas itu satu arah, lalu kumasukkan ke dalam map bening berpinggir
jahitan berwarna biru. Menyusul surat tugas segera ku raih. Baru saja saya
beranjak dari kursi plastik berwarna toska yang mulai terkelupas itu, sontak ku
lihat ibu Lurah keluar ruangan dengan menjinjing tas merah menyala dengan
langkah yang ringan. Ia berjalan keluar seperti hendak pergi.
Saya yang
sedari tadi menunggu, melihat hal itu, mengundang spontanitas diri saya untuk
menahan Ibu Lurah. “Ibu, Ibu, tolong jangan pergi dulu. Tolong tanda tangani
surat tugas saya” Kalimat yang terluahkan seketika itu, membuat ibu lurah
menatap saya dengan alis terangkat. Ia tak bergeming, hanya menatap saya nyaris
tak saya pahami ekspresi beliau. Hati saya bercampur aduk. Saya tak mengerti.
Apalagi, ketika ibu lurah berbisik dengan salah satu staf beliau dan kemudian
melanjutkan langkah beliau dengan langkah yang lebih tegas. Apa ada yang salah?
Pikir saya dengan tanya yang kian berkecamuk.
Saya segera
menata hati kalau-kalau pada akhirnya saya harus dicueki seperti ini. Berharap
Ibu lurah berbalik arah, ternyata di hijabah Tuhan. Beliau tak jadi menaiki
mobil hartop merah miliknya yang terparkir di depan pagar. Kakinya yang di
balut sepatu pantofel kulit berwarna hitam melangkah masuk ke ruangan
pribadinya. Saya memberanikan diri menyusul beliau dari belakang. Ketika saya
melihat beliau sudah benar-benar duduk di kursi kekuasaannya, saya melangkah
kecil. Mengetuk pintu yang terbuka lebar lalu mengucap salam. Beliau membalas
salam dengan pelan. Ibu lurah sibuk menekan tombol hp, sepertinya beliau
berniat menelvon seseorang.
Memberanikan
diri yang selanjutnya adalah duduk tepat di hadapan beliau. Menyadari saya
berada tepat di kedua pelupuk matanya di dalam ruangan berukuran 3 X 2 yang
bercat biru itu, beliau menatap saya dengan tajam. Matanya nya yang bercelak
dan celaknya mulai luntur karena keringat semakin memperjelas raut tegas di
wajah ibu lurah yang satu ini.
Pertanyaan formal mulai menghujani saya. Dari instansi mana? Dan ada
tujuan apa?
Sesi tanya
jawab pun berlangsung. Pertanyaan formalitas. Ibu lurah sudah tau sebenarnya
bahwa saya dari instansi Badan Pusat Statistik. Apa yang terjadi? Beliau bersih
kukuh untuk tidak menandatangani surat tugas saya. Dengan alasan saya bukan
asli orang di wilayah tersebut. Saya berusaha membujuk dengan memberi
keterangan yang sebenar-benarnya. Bahwa pemetaan ini sifatnya lintas kecamatan.
Jadi, meskipun bukan orang asli di wilayah tersebut, mengenai informasi wilayah
blok sensus bisa saling bekerja sama dengan aparat desa setempat. Pun kami yang
melakukan pemetaan sudah mengikuti proses pelatihan selama dua hari.
Beliau lalu
mengkritisi saya. Cara bicara saya dan keberanian saya tak menyebut “Puang” Pada beliau. Saya betul-betul
baru tau. Kalau ada pelafalan khusus yang harus bertengger di depan nama ibu. Maafkan
saya. Setelah bersih tegang, akhirnya saya pamit sesopan-sopannya dan
memutuskan untuk pulang. Saya pulang dengan surat tugas tanpa tanda tangan, dan
lebel dari ibu lurah sebagai mitra statistik yang tidak sopan.!!

Rahma mi yg mitra paling sopan ygprnah s liat...cm bu lurahnya aja yg negatif duluan dgn BPS..hehe
BalasHapus