Rabu, 15 April 2015

Menanti Tanda Tangan


Manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, bahkan pun ketika kau melakukan sesuatu tampa sadar menurut orang lain itu tak sesuai dengan sopan versinya
***
Saya harus menunggu. Kepala lurah yang baru saya ketahui seorang perempuan itu melayani warga di dalam ruangan miliknya. Para staf Kelurahan berseliweran mengenakan batik berwarna biru. Sebahagian sibuk mengerjakan pekerjaan mereka  masing-masing. Diantaranya sibuk merampungkan data jumlah kepala keluarga di kelurahan itu yang belum tuntas. Ada pula staf ibu-ibu yang duduk bersisian di tangga depan kantor sambil sibuk bercerita. Membahas keruwetan pekerjaan mereka di rumah. Juga suara anak-anak mereka yang bermain di teras kantor, berkejar-kejaran sambil menjerit-jerit atau tertawa lugu. Sebagian ada pula yang pergi, katanya akan ke pasar. Berhubung hari itu hari jumat. Hari pasarnya di kelurahan tersebut.

 Saya membolak balik beberapa lembar kertas dorslage. Kertas yang membantu pekerjaanku di lapangan.  Titik jenuh mulai mengepul di ubun-ubun. Kertas itu belum menjelaskan jumlah muatan secara gamblang. Tiga blok sensus di kelurahan tersebut. Ketiganya merupakan pusat kegiatan ekonomi yang masyarakatnya lumayan padat. Sebelum ke kantor kelurahan membawa surat tugas yang tergeletak tak berdaya di hadapanku itu, saya sudah terlebih dahulu terjun menyusuri blok tersebut. Satu blok sudah menerangkan gambaran jumlah muatan pada peta. Berkat ketua Rt 02  yang lumayan terbuka untuk dimintai keterangan. Berbeda dengan RT 03, yang tidak tahu betul jumlah muatan di RT nya tersebut. Justru menyarankan agar saya menghitungnya satu persatu. Melihat deretan rumah yang padatnya tak kepalang tanggung, membuat saya berfikir beberapa kali. Toh ini jumlah perkiraan. Bisa saja lebih, jua bisa kurang. Kalau pass lebih bagus lagi. Setidaknya ketua RT dapat memiliki gambaran akan wilayahnya sendiri. Kurang lebih seperti itu.

Saya mulai disinggahi rasa jenuh ketika menunggu lebih sejam di teras kantor kelurahan. Hati saya seketika lega ketika kulihat warga Ibu lurah itu beranjak meninggalkan ruangan beliau. Tak lama suara motor matic nya yang berwarna hitam berdesing menyusul suara klakson tanda pamit kepada ibu-ibu staf kantor yang masih asyik duduk bersisian. Ini giliran saya menemui beliau. Batin saya.
Kertas dorslage yang bertebaran di atas meja luar itu segera kurapikan. Melipat kertas-kertas itu satu arah, lalu kumasukkan ke dalam map bening berpinggir jahitan berwarna biru. Menyusul surat tugas segera ku raih. Baru saja saya beranjak dari kursi plastik berwarna toska yang mulai terkelupas itu, sontak ku lihat ibu Lurah keluar ruangan dengan menjinjing tas merah menyala dengan langkah yang ringan. Ia berjalan keluar seperti hendak pergi.

Saya yang sedari tadi menunggu, melihat hal itu, mengundang spontanitas diri saya untuk menahan Ibu Lurah. “Ibu, Ibu, tolong jangan pergi dulu. Tolong tanda tangani surat tugas saya” Kalimat yang terluahkan seketika itu, membuat ibu lurah menatap saya dengan alis terangkat. Ia tak bergeming, hanya menatap saya nyaris tak saya pahami ekspresi beliau. Hati saya bercampur aduk. Saya tak mengerti. Apalagi, ketika ibu lurah berbisik dengan salah satu staf beliau dan kemudian melanjutkan langkah beliau dengan langkah yang lebih tegas. Apa ada yang salah? Pikir saya dengan tanya yang kian berkecamuk.

Saya segera menata hati kalau-kalau pada akhirnya saya harus dicueki seperti ini. Berharap Ibu lurah berbalik arah, ternyata di hijabah Tuhan. Beliau tak jadi menaiki mobil hartop merah miliknya yang terparkir di depan pagar. Kakinya yang di balut sepatu pantofel kulit berwarna hitam melangkah masuk ke ruangan pribadinya. Saya memberanikan diri menyusul beliau dari belakang. Ketika saya melihat beliau sudah benar-benar duduk di kursi kekuasaannya, saya melangkah kecil. Mengetuk pintu yang terbuka lebar lalu mengucap salam. Beliau membalas salam dengan pelan. Ibu lurah sibuk menekan tombol hp, sepertinya beliau berniat menelvon seseorang.

Memberanikan diri yang selanjutnya adalah duduk tepat di hadapan beliau. Menyadari saya berada tepat di kedua pelupuk matanya di dalam ruangan berukuran 3 X 2 yang bercat biru itu, beliau menatap saya dengan tajam. Matanya nya yang bercelak dan celaknya mulai luntur karena keringat semakin memperjelas raut tegas di wajah ibu lurah yang satu ini.  Pertanyaan formal mulai menghujani saya. Dari instansi mana? Dan ada tujuan apa?

Sesi tanya jawab pun berlangsung. Pertanyaan formalitas. Ibu lurah sudah tau sebenarnya bahwa saya dari instansi Badan Pusat Statistik. Apa yang terjadi? Beliau bersih kukuh untuk tidak menandatangani surat tugas saya. Dengan alasan saya bukan asli orang di wilayah tersebut. Saya berusaha membujuk dengan memberi keterangan yang sebenar-benarnya. Bahwa pemetaan ini sifatnya lintas kecamatan. Jadi, meskipun bukan orang asli di wilayah tersebut, mengenai informasi wilayah blok sensus bisa saling bekerja sama dengan aparat desa setempat. Pun kami yang melakukan pemetaan sudah mengikuti proses pelatihan selama dua hari.

Beliau lalu mengkritisi saya. Cara bicara saya dan keberanian saya tak menyebut “Puang” Pada beliau. Saya betul-betul baru tau. Kalau ada pelafalan khusus yang harus bertengger di depan nama ibu. Maafkan saya. Setelah bersih tegang, akhirnya saya pamit sesopan-sopannya dan memutuskan untuk pulang. Saya pulang dengan surat tugas tanpa tanda tangan, dan lebel dari ibu lurah sebagai mitra statistik yang tidak sopan.!!

image taken from my smartphone


1 komentar:

  1. Rahma mi yg mitra paling sopan ygprnah s liat...cm bu lurahnya aja yg negatif duluan dgn BPS..hehe

    BalasHapus