Nafasnya tersenggal dengan bibir yang
bergetar. Getir. Dinding di ruangan seolah akan menghimpitnya. Monitor laptop menertawakannya.
Benda-benda di ruangan itu bergantian mengejek. Lalu merutuknya. “Hay, betapa
malang nasibmu. Apakah kau akan jadi perawan tua?” Sementara ia menjerit
seorang diri. Seolah memaksa, agar terbangun dari mimpi buruk. “Akh....tidaaakkkk.!!”
Dahlia merenung cukup lama. Ada
banyak pertanyaan datang mengusik. Pertanyaan yang didominasi perihal kenangan.
Tentang rindu yang acap kali memeluk dan mengais-ngais ingatan. Atau perihal
rasa yang kian membuncah. Kecewa merayapi. Memilin-milin hati tampa ampun. Serupa luka yang menganga.
Ia rebahkan tubuhnya yang lunglai di
atas kasur. Melempar pandang jauh. Jauh hingga menembus langit-langit kamar.
Menembus berlapis-lapis langit yang tak terjamah. Melewati beribu kisah tentang
mimpi yang terabaikan. Lalu menuju masa silam. Dan waktu menyeretnya di akhir
tahun. Awal mula dimana dirinya mengenal sosok lelaki yang mampu mencairkan
kebekuan hatinya selama ini.
***
Tak ada yang istimewa dari dirinya.
Hanya sebongkah kesederhanaan yang merajai. Lihat saja dia dari segi
berpenampilan. Kemeja murahan yang tak banyak jumlahnya. Selalu ia kenakan
bergantian agar terlihat lebih formal.
Juga celana kain warna hijau tua yang warnanya mulai memudar. Tubuh tinggi
kurus, berwajah tirus. Di hatinya, hanya ada sekelumit syukur. Seorang anak yatim yang telah ditinggal mati amma’na semenjak berusia 3 bulan. Amma’na meninggal karena sakit. Usia dimana kasih sayang amma’
serupa telaga kautsar yang melegakan dahaga dalam seketika. Akh...anak yang
malang. Meski berjibun kepedihan hidup menindihnya, kini ia tumbuh menjadi seorang
lelaki dewasa. Alih-alih pun berstatus
sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Makassar.
Berawal dari perkenalan lewat dunia
maya, pun mengantar mereka pada pertemuan nyata yang eksotik. Pantai tak berombak,
menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Sebuah taman di pinggir kolam yang
dijejali wisata kuliner. Di area persimpangan jalan, aroma makanan mengepul
mengundang selera. Pastikan isi dompet yang kau bawa mendukung selera makanmu.
Disana lah tempat paling romatis mencumbui petang menuju malam di jantung Kota
Maros.
Apatah, pertemuan itu bukanlah temu
yang meluahkan segala rindu saat bertemu tuk kali pertama. Hanya secuil temu
yang menautkan senyum simpul dalam kekakuan. Bertemu, saling memandang dan
mengisolasi ingatan tentang rupa. Sedikit berbasa-basi. Pamit, kemudian pulang.
Pertemuan yang ganjil dan klise bukan?
“Terimakasih sudah mau bertemu.”
“Ya, terimakasih jua aku diajak tuk
bertemu.” Ucap Dahlia sengau. Hatinya diringkus malu. Denyut jantung yang tak
beraturan. Mungkinkah ini cinta? Aneh benar rasanya. Ungkap Dahlia membatin.
“Kau sudah tau kan, amma’ku telah tiada. Sedang bapakku
beristri lagi. Berkenalanlah dengan keluargaku. Jadi, akan ku ajak ke rumah
tanteku saja di Tanralili. Tidak jauh, masih wilayah Maros.”
Dahlia menengadahkan wajahnya ke arah lelaki
yang duduk dihadapannya dengan mata membulat. Isi kepalanya seperti
meloncat-loncat. Saling bertindihan satu sama lain untuk di keluarkan. Dahlia
diselimuti bimbang, tak ada sepatah kata pun yang berhasil ia luahkan. Hanya
keluh. Lalu kembali tertunduk.
“Kenapa diam? Tak mau? Kau ragu?” Lelaki
itu menodongnya dengan sederet pertanyaan.
Dahlia tergeragap, mencoba menguasai
perasaannya sendiri. Sesekali menyeruput juz alpokad yang tergelatak manis di
hadapannya. Mencoba menjawab sebisanya. “Kakak mengajak saya ke rumah tanteta’.
Apakah itu pertanda kakak serius dengan
saya ?”
Suasana keduanya lalu diringkus
hening. Setelah mengajukan pertanyaan itu, lidah Dahlia serasa terlipat-lipat.
Kepalanya tiba-tiba sakit. Mereka serupa fikiran-fikiran yang hanya mengundang sakit di kepala.
“Ia dik, saya mencoba untuk itu.”
Jawabnya mantap.
Seketika denyut jantung Dahlia
berdetak cepat, seperti baru saja mengikuti lomba lari maraton. Lalu hening.
Hanya suara bising kendaraan. Didominasi alunan lagu bugis yang bersumber dari salah
satu gerobak pedagang kaki lima di Pantai tak berombak itu. Alunannya serupa
teman baik untuk mengibadahi riuh kota yang damai.
***
Tak ada kabar paling indah dan membahagiakan bagi seorang perempuan,
kecuali dihadiahi kabar akan di lamar oleh pujaan hati. Tau demikian, sang
perempuan akan mencumbui malam dengan mesrahnya. Memanjatkan doa di sepertiga
malam untuk kelancaran study pujaan hati. Dengan memupuk harap, sang pujaan
hati segera memboyong keluarga satu mobil ke rumah. Onde-onde dan barongko akan
siap dihidangkan. Mimpi indah bagi semua perempuan. Tak terkecuali Dahlia.
Setelah menyabet gelar dan toga melekat
di kepala, lelaki itu berjanji akan melamarnya. Menyegerakan menghalalkan
hubungan mereka. Dahlia bersedia, meskipun dirinya sendiri masih kuliah. Dia
percaya, Tuhan akan mendatangkan berlipat berkah dan rezky kepada hamba yang
menyegerakan menyempurnakan dien-Nya.
Di serambi rumah panggungnya, Dahlia
tersenyum membayangkan kehadiran lelaki itu. Hujan di luar sana kian menderas.
Malam hampir tiba. Ia menopang dagu menatap
bulir hujan. Ia rindu pada Saharuddin. Lelaki yang telah menanam
benih-benih bahagia di hatinya. Kerinduan pun kian membuncah. Pasalnya,
Saharuddin telah berada di Mamuju. Menuntaskan tugas kuliah. Kuliah kerja nyata
selama dua bulan.
Namun cemas mulai berkelabat. Beberapa hari
ini Saharuddin tak pernah berkabar. Kabar terakhir, pinta Sahar kepada Dahlia
agar menunggu. Suatu saat ia akan datang melamar. Oh ya, lelaki berwajah tirus
itu bernama Saharuddin. Dahlia memanggilnya kak Sahar.
***
Petir menggelegar. Jam dinding berbunyi
nyaring. Membawa masa lalu dari lapisan tak terjamah kembali menembus
langit-langit kamar. Dahlia terperangah. Pipinya sembab. Matanya menatap lamat-lamat
keadaan kamar. Layar monitor laptop nampak berkedip. Serupa isyarat, bahwa ia
lelah di anggurkan seperti itu. Lampu modem yang tercolok di laptop juga
berkedip-kedip. Sepertinya jaringan mulai error. Seeror pikirannya saat itu. Hujan
yang bertamu kian meruah. Suasana alam seperti
ikut mematah-matahkan hatinya.
Dua bulan lebih telah berlalu. Status
Saharuddin di beranda facebooknya siang tadi telah
menyayat-nyayat hatinya bak belati. Kabar buruk yang membuatnya nyaris tertohok.
Saharuddin akan menikah. Tapi bukan dengan dirinya. Ditambah lagi sebuah sms dari adik sepupu Sahar di Tanralili membenarkan
kabar itu.
Saharuddin telah kepincut hatinya
dengan seorang gadis Mamuju tempatnya berkegiatan. Barangkali Saharuddin telah di
dera pikun akut hingga lupa akan janji melamarnya. Pikiran-pikiran di kepala
Dahlia itu datang lagi. Merecoki, mencipta ribut di kepala. Sekarang Dahlia
merasa dikhianati.
Saharuddin
akan menikah.
Hari itu, ia kubur dalam-dalam semua luka yang membabat separuh
hatinya. Belum saatnya Tuhan mengizinkannya menikah. Pun belum saatnya melihat semua keluarga & kerabat terdekat datang
menyambanginya dengan sebukit do’a.
Lupakan sejenak ritual malam mapaccing. Apatah lagi. Kenyataan mengaburkan sepaket mimpi yang
pernah membawa Dahlia terbang melalang buana bersama Sahar. Belum saatnya
barangkali. Meskipun sakitnya di khianati terasa mengiris iris di hati. Dahlia meringis.
Tak ada lagi gerimis yang memendarkan aroma rindu. Mungkin jika saat itu
Saharuddin ada di depannya, sudah keluar semua sumpah serapah dari mulutnya.
***
Saharuddin mungkin membutuhkan seorang
perempuan yang cukup dewasa, karena semenjak kecil ia di tinggal pergi amma’na. Mungkin saja dirinya belum
cukup dewasa di mata lelaki berwajah tirus itu. Berangkat dari pengkhianatan
itu, Dahlia berniat akan segera belajar mendewasa. Menjadi menatu idaman semua
mertua.
Rutukan benda-benda ilusi itu tak
akan jadi kenyataan. Ia yakin tak akan menjadi perawan tua. Ia akan menikah
suatu saat nanti. Entah kepada siapa hatinya berlabuh setelah pengkhiantan itu.
Seumpama garam di laut, asam di gunung. Bertemu juga dalam satu belanga. Kalau
jodoh, tak akan lari kemana. Ikhlaskan. Itulah satu-satunya cara agar ia bisa
menentramkan hati dan berdamai dengan kenyataan ini. Ia belajar ikhlaskan jika
ternyata Saharuddin benar akan menikahi perempuan lain.
Belum juga bunga harapan
itu mekar, sudah terkulai layu dan terinjak injak.
___________________________________________________________________________
BIODATA PENULIS
Nama
Pena : Rahma Aulia
Nama
Asli : Rahmawati
Status : Mahasiswi di STIM LPI
Makassar
Anggota Forum
Lingkar Pena (FLP) Cabang Maros
Email
: Rahmawati2254@gmail.com
No.
Hp : 082347739355
Sosmed
FB : Rahmawati Aulia
Twitter : @Rahma15W
Instagram
: Rahma_wati_aulia
Tulisan ini diikutsertakan pada Sayembara Menulis "Sakitnya Tuh Disini" yang diselenggarakan oleh penerbit Wahyu Qolbu
Tulisan ini diikutsertakan pada Sayembara Menulis "Sakitnya Tuh Disini" yang diselenggarakan oleh penerbit Wahyu Qolbu

Tidak ada komentar:
Posting Komentar