Selasa, 03 Februari 2015

Air Mata Bersama Hujan




Oleh : Rahma Aulia
          Nafasnya tersenggal dengan bibir yang bergetar. Getir. Dinding di ruangan seolah akan menghimpitnya. Monitor laptop menertawakannya. Benda-benda di ruangan itu bergantian mengejek. Lalu merutuknya. “Hay, betapa malang nasibmu. Apakah kau akan jadi perawan tua?” Sementara ia menjerit seorang diri. Seolah memaksa, agar terbangun dari mimpi buruk. “Akh....tidaaakkkk.!!”
          Dahlia merenung cukup lama. Ada banyak pertanyaan datang mengusik. Pertanyaan yang didominasi perihal kenangan. Tentang rindu yang acap kali memeluk dan mengais-ngais ingatan. Atau perihal rasa yang kian membuncah. Kecewa merayapi. Memilin-milin hati  tampa ampun. Serupa luka yang menganga.
          Ia rebahkan tubuhnya yang lunglai di atas kasur. Melempar pandang jauh. Jauh hingga menembus langit-langit kamar. Menembus berlapis-lapis langit yang tak terjamah. Melewati beribu kisah tentang mimpi yang terabaikan. Lalu menuju masa silam. Dan waktu menyeretnya di akhir tahun. Awal mula dimana dirinya mengenal sosok lelaki yang mampu mencairkan kebekuan hatinya selama ini.
***
          Tak ada yang istimewa dari dirinya. Hanya sebongkah kesederhanaan yang merajai. Lihat saja dia dari segi berpenampilan. Kemeja murahan yang tak banyak jumlahnya. Selalu ia kenakan bergantian agar  terlihat lebih formal. Juga celana kain warna hijau tua yang warnanya mulai memudar. Tubuh tinggi kurus, berwajah tirus. Di hatinya, hanya ada sekelumit syukur. Seorang  anak yatim yang  telah ditinggal mati amma’na semenjak berusia 3 bulan. Amma’na meninggal karena sakit. Usia dimana kasih sayang  amma’ serupa telaga kautsar yang melegakan dahaga dalam seketika. Akh...anak yang malang. Meski berjibun kepedihan hidup menindihnya, kini ia tumbuh menjadi seorang lelaki dewasa.  Alih-alih pun berstatus sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Makassar.
         Berawal dari perkenalan lewat dunia maya, pun mengantar mereka pada pertemuan nyata yang eksotik. Pantai tak berombak, menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Sebuah taman di pinggir kolam yang dijejali wisata kuliner. Di area persimpangan jalan, aroma makanan mengepul mengundang selera. Pastikan isi dompet yang kau bawa mendukung selera makanmu. Disana lah tempat paling romatis mencumbui petang menuju malam di jantung Kota Maros.
          Apatah, pertemuan itu bukanlah temu yang meluahkan segala rindu saat bertemu tuk kali pertama. Hanya secuil temu yang menautkan senyum simpul dalam kekakuan. Bertemu, saling memandang dan mengisolasi ingatan tentang rupa. Sedikit berbasa-basi. Pamit, kemudian pulang. Pertemuan yang ganjil dan klise bukan?
          “Terimakasih sudah mau bertemu.”
          “Ya, terimakasih jua aku diajak tuk bertemu.” Ucap Dahlia sengau. Hatinya diringkus malu. Denyut jantung yang tak beraturan. Mungkinkah ini cinta? Aneh benar rasanya. Ungkap Dahlia membatin.
          “Kau sudah tau kan, amma’ku telah tiada. Sedang bapakku beristri lagi. Berkenalanlah dengan keluargaku. Jadi, akan ku ajak ke rumah tanteku saja di Tanralili. Tidak jauh, masih wilayah Maros.”
          Dahlia menengadahkan wajahnya ke arah lelaki yang duduk dihadapannya dengan mata membulat. Isi kepalanya seperti meloncat-loncat. Saling bertindihan satu sama lain untuk di keluarkan. Dahlia diselimuti bimbang, tak ada sepatah kata pun yang berhasil ia luahkan. Hanya keluh. Lalu kembali tertunduk.
          “Kenapa diam? Tak mau? Kau ragu?” Lelaki itu menodongnya dengan sederet pertanyaan.
          Dahlia tergeragap, mencoba menguasai perasaannya sendiri. Sesekali menyeruput juz alpokad yang tergelatak manis di hadapannya. Mencoba menjawab sebisanya. “Kakak mengajak saya ke rumah tanteta’. Apakah itu pertanda kakak  serius dengan saya ?”
          Suasana keduanya lalu diringkus hening. Setelah mengajukan pertanyaan itu, lidah Dahlia serasa terlipat-lipat. Kepalanya tiba-tiba sakit. Mereka serupa fikiran-fikiran yang  hanya mengundang sakit di kepala.
          “Ia dik, saya mencoba untuk itu.” Jawabnya mantap.
          Seketika denyut jantung Dahlia berdetak cepat, seperti baru saja mengikuti lomba lari maraton. Lalu hening. Hanya suara bising kendaraan. Didominasi alunan lagu bugis yang bersumber dari salah satu gerobak pedagang kaki lima di Pantai tak berombak itu. Alunannya serupa teman baik untuk mengibadahi riuh kota yang damai.
***
           Tak ada kabar paling indah dan membahagiakan bagi seorang perempuan, kecuali dihadiahi kabar akan di lamar oleh pujaan hati. Tau demikian, sang perempuan akan mencumbui malam dengan mesrahnya. Memanjatkan doa di sepertiga malam untuk kelancaran study pujaan hati. Dengan memupuk harap, sang pujaan hati segera memboyong keluarga satu mobil ke rumah. Onde-onde dan barongko akan siap dihidangkan. Mimpi indah bagi semua perempuan. Tak terkecuali Dahlia.
         Setelah menyabet gelar dan toga melekat di kepala, lelaki itu berjanji akan melamarnya. Menyegerakan menghalalkan hubungan mereka. Dahlia bersedia, meskipun dirinya sendiri masih kuliah. Dia percaya, Tuhan akan mendatangkan berlipat berkah dan rezky kepada hamba yang menyegerakan menyempurnakan dien-Nya.
         Di serambi rumah panggungnya, Dahlia tersenyum membayangkan kehadiran lelaki itu. Hujan di luar sana kian menderas. Malam hampir tiba. Ia menopang dagu menatap  bulir hujan. Ia rindu pada Saharuddin. Lelaki yang telah menanam benih-benih bahagia di hatinya. Kerinduan pun kian membuncah. Pasalnya, Saharuddin telah berada di Mamuju. Menuntaskan tugas kuliah. Kuliah kerja nyata selama dua bulan.
        Namun cemas mulai berkelabat. Beberapa hari ini Saharuddin tak pernah berkabar. Kabar terakhir, pinta Sahar kepada Dahlia agar menunggu. Suatu saat ia akan datang melamar. Oh ya, lelaki berwajah tirus itu bernama Saharuddin. Dahlia memanggilnya kak Sahar.
***
        Petir menggelegar. Jam dinding berbunyi nyaring. Membawa masa lalu dari lapisan tak terjamah kembali menembus langit-langit kamar. Dahlia terperangah. Pipinya sembab. Matanya menatap lamat-lamat keadaan kamar. Layar monitor laptop nampak berkedip. Serupa isyarat, bahwa ia lelah di anggurkan seperti itu. Lampu modem yang tercolok di laptop juga berkedip-kedip. Sepertinya jaringan mulai error. Seeror pikirannya saat itu. Hujan yang bertamu kian meruah. Suasana alam seperti  ikut mematah-matahkan hatinya.
            Dua bulan lebih telah berlalu. Status Saharuddin  di beranda facebooknya siang tadi telah menyayat-nyayat hatinya bak belati. Kabar buruk yang membuatnya nyaris tertohok. Saharuddin akan menikah. Tapi bukan dengan dirinya. Ditambah lagi sebuah sms dari adik sepupu Sahar di Tanralili membenarkan kabar itu.
          Saharuddin telah kepincut hatinya dengan seorang gadis Mamuju tempatnya berkegiatan. Barangkali Saharuddin telah di dera pikun akut hingga lupa akan janji melamarnya. Pikiran-pikiran di kepala Dahlia itu datang lagi. Merecoki, mencipta ribut di kepala. Sekarang Dahlia merasa dikhianati.
Saharuddin akan menikah.
           Hari itu,  ia kubur dalam-dalam semua luka yang membabat separuh hatinya. Belum saatnya Tuhan mengizinkannya menikah. Pun belum saatnya melihat semua keluarga & kerabat terdekat datang menyambanginya dengan sebukit do’a.
          Lupakan sejenak ritual malam mapaccing. Apatah lagi. Kenyataan mengaburkan sepaket mimpi yang pernah membawa Dahlia terbang melalang buana bersama Sahar. Belum saatnya barangkali. Meskipun sakitnya di khianati terasa mengiris iris di hati. Dahlia meringis. Tak ada lagi gerimis yang memendarkan aroma rindu. Mungkin jika saat itu Saharuddin ada di depannya, sudah keluar semua sumpah serapah dari mulutnya.
***
         Saharuddin mungkin membutuhkan seorang perempuan yang cukup dewasa, karena semenjak kecil ia di tinggal pergi amma’na. Mungkin saja dirinya belum cukup dewasa di mata lelaki berwajah tirus itu. Berangkat dari pengkhianatan itu, Dahlia berniat akan segera belajar mendewasa. Menjadi menatu idaman semua mertua.
          Rutukan benda-benda ilusi itu tak akan jadi kenyataan. Ia yakin tak akan menjadi perawan tua. Ia akan menikah suatu saat nanti. Entah kepada siapa hatinya berlabuh setelah pengkhiantan itu. Seumpama garam di laut, asam di gunung. Bertemu juga dalam satu belanga. Kalau jodoh, tak akan lari kemana. Ikhlaskan. Itulah satu-satunya cara agar ia bisa menentramkan hati dan berdamai dengan kenyataan ini. Ia belajar ikhlaskan jika ternyata Saharuddin benar akan menikahi perempuan lain.    
        Belum juga bunga harapan itu mekar, sudah terkulai layu dan terinjak injak.
___________________________________________________________________________


BIODATA PENULIS
Nama Pena         : Rahma Aulia
Nama Asli          : Rahmawati
Status                 : Mahasiswi di STIM LPI Makassar
                             Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Maros
Email                 : Rahmawati2254@gmail.com
No. Hp              : 082347739355
Sosmed FB       : Rahmawati Aulia
Twitter              : @Rahma15W
Instagram          : Rahma_wati_aulia

Tulisan ini diikutsertakan pada Sayembara Menulis "Sakitnya Tuh Disini" yang diselenggarakan oleh penerbit  Wahyu Qolbu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar