Kamis, 30 April 2015

Surat Tugas dan Sepiring Pallu Butung




Oleh : Rahma Aulia
image taken from my smartphone


Setelah berkutat  dengan Susenas di bulan maret, saya kembali di fungsikan di BPS dalam pelaksanaan pemetaan peta untuk persiapan Survey ekonomi 2016. Bersama lima orang mitra BPS lainnya, kami ditugaskan di beberapa kecamatan. Dan saya yang paling cantik sendiri karena satu-satunya perempuan, dipercayakan untuk menyelesaikan lima blok sensus. Tiga blok di kecamatan Mandai, dua blok kecamatan Tanralili dan satu blok di kecamatan Tompobulu’.
Untuk melakukan pemetaan ini, kami harus menyusuri  blok sensus guna melihat keadaan terkini. Kemudian memberi simbol pada kertas dorslage yang merupakan kertas jiplak dari peta asli pada tahun 2009 yang akan di perbaharui. 
Menghadapi keloknya perjalanan dan dimanjakan suasana alam juga pernah saya alami ketika melakukan pemetaan peta di Tompobulu Dusun Batu Lotong. Untuk soal pembaharuan simbol dan penambahan bangunan baru seperti sekolah dan masjid, tak begitu sulit untuk di telusuri. Dusun tersebut terbilang tidak pesat perkembangan pembangunannya. Hamparan sawah yang tertera di peta tahun 2009 masih sama hingga kini. Nuansa alam dan pedesaan masih begitu kental, sehingga tidak begitu menyulitkan saya untuk menentukan jumlah bangunan fisik, bangunan sensus, bangunan kosong dan tempat usaha.
Seorang pemuda yang merupakan anak dari pak Dusun Batu Lotong tersebut berkenan mambantu saya memberi gambaran lokasi dan membantu menyusuri wilayah blok sensus tersebut bersama-sama. Ketika pembaharuan peta blok sensus di wilayah tersebut sudah fix,  saya melanjutkan perjalanan untuk membawa surat tugas saya ke Kantor Desa Puca’ yang letaknya berada di sebelah dusun tersebut yang memiliki dua aternatif untuk sampai. Untuk ke sebelah, kita tinggal memilih untuk lewat jembatan gantung yang jaraknya 3 km dari dusun tersebut atau memilih alternatif yang lebih cepat yakni menyebrang sungai.
Berdasarkan saran dari anak dan istri pak dusun, (karena pada saat saya berada di dusun tersebut, Bapak Dusun tengah keluar menggarap ladangnya di hamparan tanah bekas sawah). Akhirnya, saya memutuskan untuk menyebrang sungai saja. Saya hanya perlu menyusuri jalanan beton sepanjang dua meter untuk sampai di kebun berawa-rawa yang sebagian lahannya di jadikan jalanan untuk menuju sungai yang di maksud. Bekas hujan semalam, membuat jalanannya yang bertanah menjadi licin dan sedikit mengotori bagian kap depan motor beat saya. Jalanan setapak itu akhirnya mempertemukan saya dengan sungai yang airnya tergenang bening nan hijau oleh pantulan pepohonan yang rindang. Alam pegunungan terpampang indah di depan mata. Hati saya yang sedari tadi kuyu karena  terpapar sinar mata hari, selaksa nyaman dan tentram.
Berselang lima menit, saya bertemu dengan seorang anak perempuan sepandar adik saya yang kira-kira berumur 10 tahun. Berseragam putih merah tengah menunggu di bawah pohon yang rindang. Rupanya dia juga ingin menyebrang. “Dik, bagaimana cara kita menyebrang? Sungai ini terlihat sunyi. Dimana pemilik raki’-raki’na?” Tanya saya seraya mengulurkan tangan dengan sebungkus cemilan yang tadi saya beli di warung ibu dusun sambil tersenyum. Adik itu menyambut dengan sumringah. “Terimakasih kak”. Ujarnya. “Coba kasi’ bunyi-bunyi itu motorta.” Lama baru kemudian saya paham, kasi’ bunyi-bunyi motorta’ yang dimaksud adik ini adalah menekan klakson berkali-kali pada motor, agar empunya sampan disebrang sana mendengarnya. Saran itu ku lakukan. Tapi tak kunjung datang. Tak apalah, sambil menunggu saya bisa menikmati panorama di sini, menghasilkan beberapa foto selfie dan rehat. Duduk di atas rumput datar menghijau. 
Tak lama setelah jeda dengan menghabiskan cemilan kerupuk jari-jari, permen tamarin dan sebotol aqua bersama adik berkulit sawo ini, seorang bapak menggunakan saraung (Topi sawah, red)  muncul di seberang sana. Pucuk di cita ulam pun tiba. Akhirnya.!!
Raki’-raki’ berbahan bambu sama panjang yang dirakit bersisian yang biasa di sebut sampan itu menepi. Anak perempuan itu berlari-lari kecil menuju rakit. Tangannya melambai-lambai ke arahku kegirangan. Seolah memperkenalkan kepadaku kendaraan paling berjasa yang membantunya untuk sampai sekolah. Dari kejahuan nampak seorang ibu menjinjing kantong plastik bersama dua bocah yang mungkin anaknya berlari menuju rakit. Rupanya ibu itu menunggu di bawah pohon lain di ujung bagian sana.
Saya sedikit ketakutan pada awalnya. Motor beat saya gas menaiki tangga papan yang di hubungkan ke rakit oleh bapak tua itu.  Demi tanda tangan pak Desa, tak apalah saya berjibaku dengan rakit ini. Batinku.
Tak butuh waktu lama, saya sudah bersama motor saya di atas rakit itu, bersama adik perempuan berjilbab putih dengan seragam berlengan pendek yang sedari tadi menemani saya, ibu gemuk dan dua orang bocah beserta pak Tua bersaraung yang mengendalikan rakit itu dengan urat-urat tangannya yang melingkar penuh kegigihan.
Rakit kembali menepi. Anak perempuan itu meloncat dan berlari sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Saya membalas dengan senyum selebar mungkin. “Hati-hati dik sampai jumpa lagi”. Begitu pula halnya Ibu dan dua bocah itu telah pergi lebih dulu, sementara saya masih menurunkan motor beat saya ke tepi. Berkat Bapak tua itu yang kembali menghubungkan tangga papan dari rakit ke tepi sungai.
Dengan selembar uang lima ribu, kaki saya sudah berpijak di seberang. Bapak bersaraung itu berkenan becerita sedikit tentang rutinitasnya ketika saya tanyai. Rupanya sudah 10 tahun bapak ini melakoni rutinitas yang merupakan satu dari sekian mata pencaharian beliau. Bukan hanya beliau, sesekali anaknya membantu ketika libur sekolah. “Saya tanya anak-anakku, kalau mau berhasil apa saja di kerja, yang penting halal. Tidak boleh gengsi” Ujarnya menutup perbincangan singkat kami. Saya terenyuh mendengar penuturan beliau. Dapat pelajaran penting lagi. Benar kata para filosof, sejatinya, kita dapat belajar dan mengambil pelajaran hidup di mana dan kapan saja. Bahkan lima menit menyebrang di atas rakit sekalipun. “Terimakasih pak, sampai ketemu lagi” Ucap saya sambil pamit seraya menjabat tangan beliau.
Saya kira, perjalanan saya akan enteng setelah itu. Rupanya saya harus menyusuri jalan setapak berbatu yang membuat motor saya melaju dengan getar. Setelah jalan berbatu, berbelok ke arah kiri yang merupakan jalan beraspal yang mulus membuat hati saya lega bukan kepalang. Setelah singgah beberapa kali untuk bertanya ke beberapa orang, akhirnya saya temui kantor desa yang saya tuju.
Saya melewati kantor Camat Tompo’bulu, jalanan menuju permandian puca’, lalu masjid yang berseblahan dengan kantor Desa Puca’. Laju motor beat saya semakin enteng hingga berada di depan halaman kantor. Mata saya tertuju pada sebuah sepeda motor kalau tidak salah bermerk yamaha vixion berplat merah yang sepertinya familiyar. Satu-satunya motor yang terparkir dan menjadi genap dengan motor beat saya. Kantor nampak sunyi, tak ada suara aktifitas yang terdengar dari dalam. Bahkan suara derap langkah sepatu pun tidak.
Ketika saya berada di muka pintu kantor, seorang bapak menyapa saya dengan hangat. Rupanya motor di luar milik beliau, pantas tak asing di mata saya. Beliau Pak Mustafa, yang akrab disapa pak Mus. Adalah KSK kecamatan Simbang yang memiliki maksud yang sama. Menyodorkan surat tugas survey ubinan beliau. Tak sangka Allah mempertemukan kami di kantor ini.
Rupaya Tak ada Pak Kades, Cap desa pun ikut bersama beliau. Berarti tak ada tanda tangan pula. Apatah hanya ada seorang staf perempuan berbaju linmas yang masih stay di kantor itu seorang diri. Setelah membubuhkan paraf sebagai pengunjung pada daftar kunjungan, kami segera pamit. Sebelum memutuskan untuk ke rumah pak desa, yang berjarak kurang lebih lima km dari kantor desa, kami memutuskan shalat duhur berjamaah bersama pegawai kantor camat terlebih dahulu. Rehat sejenak, menyantap bekal makan siang, meneguk beberapa kali air aqua yang kami bawa lalu on the way.
Perjalanan saya kali ini tak lagi sendiri. Saya mengekor dari belakang mengikuti Pak Mus menuju rumah pak desa. Dari masjid kami kembali ke arah datang sebelumnya, jika tadi saya berbelok ke arah kiri, saya tak lagi berbelok kearah sebelumnya melainkan lurus ke depan hingga bertemuu dengan pertigaan. Tetap lurus dari jalanan beton hingga menyusuri jalanan berbatu bercampur kerikil yang terjal. Hati saya sempat was-was. Takut kalau-kalau ban motor saya bocor karena batu-batu itu. Pengalaman waktu pendataan susenas di Marumpa’. Bolak balik rumah responden untuk shalat ke masjid dan harus melewati jalanan berbatu seperti itu agar cepat sampai, mengakibatkan ban dalam saya bocor. Mudah mudahan saja tidak. Karena tak ada bengkel di sekitar. Samping kanan kiri hanya ada rumput ilalang setinggi dada orang dewasa tumbuh subur. Hanya satu dua rumah yang di temui pun  jaraknya saling berjauhan. Sesekali kami singgah di depan rumah warga untuk bertanya letak rumah pak desa. Setelah menyusuri jalanan berbatu itu yang membuat motor saya kembali melaju dengan  getar selama 15 menit, barulah kami sampai di rumah batu bermotif klasik bercat abu-abu yang masih sementara di renovasi. Rumah Pak Desa Puca’.
Hanya dua orang anak perempuan yang kutaksir berusia 9 tahun dan adiknya berusia 5 tahun yang kami jumpai tengah bermain masak-masak di teras rumah. Ternyata hanya mereka berdua, bapak mereka yang tak lain tak bukan adalah pak desa bersama sang isteri sedang keluar entah kemana. Anaknya juga tak tau orang tua mereka sedang keluar kemana dan dimana.
Daripada saya menunggu terlalu lama, Pak Mus menyarankan agar saya pulang saja. Beliau meminta surat tugas pemetaan saya, biar beliau yang serahkan untuk di tanda tangani oleh pak desa. Sekalian. “Mending Rahma pulang. Biar saya saja yang menunggu.” Saran beliau. Sebelum saya pulang, beliau request kopi hitam dan pallu butung.  “Sebentar sore saya singgah di rumahta’” Ujar beliau. “Ok pak!!” Ucap saya seraya mengajukan jempol tanda setuju.
Motor beat saya kembali melaju menyusuri jalan berbatu. Saya melewati jalan pintas, dari rumah pak desa saya terus ke depan lalu belok kanan, berdasarkan gambaran arah jalan dari seorang pemuda sekitar dusun tersebut. Sepanjang perjalanan saya tak berhenti bertanya setiap kali bertemu dengan orang yang melintasi jalan yang saya susuri. Atau saat saya harus merasa sendiri karena hanya ada saya sorang diri. Menyusuri area serupa hutan yang tanahnya lembab hingga menuntut saya untuk memutar gas lebih kuat agar ban motor saya tidak kandas oleh tanah yang belepotan. Kanan kiri pepohonan jati dan akar pohon yang mengakar keluar tak terlihat baik, menghantam ban motor beat  membuat tubuh saya yang ringan terguncang. Lagi-lagi saya merapalkan doa dalam hati. Semoga ban motorku tak bocor lagi.
Hingga akhirnya saya bertemu serupa bendungan. Melewatinya dengan jembatan semen sempit yang membuat jantung saya berdegup. Takut jatuh bersama beat. Untung saja, kanan kiri jembatan kecil itu di lengkapi dinding seukuran pinggang perempuan mungil seperti saya.  Setelah melalui jembatan, saya bertemu Jalanan beton lau memilih berbelok ke arah kiri. Sengat matahari di siang bolong pukul 14:00 di siang itu semakin terasa di ubun-ubun.
Masih di jurusan yang sama, tak lama saya bertemu dengan jalanan beton yang masih sementara di perbaiki. Sehingga saya harus melewati jalanan pinggir beton yang becek oleh luahan semen dan pasir.
Untung saja tak begitu lama saya harus berjibaku dengan jalanan sempit seperti itu. Saya kembali naik ke jalanan beton yang sudah siap pakai. Saya melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri saya sambil motor beat terus melaju dengan ringan. Perjalanan selanjutnya adalah jalanan beton berkelok. Sepanjang perjalanan saya bisa berteriak bahkan bernyanyi sesuka hati. Jalanan sepi bebas hambatan yang terhubung dari Baku’ tembus hingga ke pasar carangaki Tanralili’.
Masjid Minal Aidzin Carangki tepat di depan mata. Saya lalu memilih berbelok kanan. Lega luar biasa, rute perjalanan berikutnya adalah jalur yang dihapal di luar kepala. Perjalanan pulang ke rumah.
Setelah sampai di rumah, saatnya saya bersama mama berjibaku di dapur. Sesisir pisang raja yang saya beli dari seorang tante penjual pisang di dusun sebelah, (Dusun Bontocinde) siap di olah menjadi kue tradisional khas Makassar yang selalu axis sepanjang masa. Pisang yang di potong-potong, tepung terigu, santan dan gula pasir di aduk hingga mengental dalam panci aluminium berukuran sedang.
Pak Mus sudah tiba di rumah sebelum ashar. Lebih cepat dari perkiraan. Beliau membawa surat tugas beliau sekaligus surat tugas yang saya titip telah lengkap dengan tanda tangan pak desa yang kami upayakan seharian ini. Alhamdulillah, rasa lelah sepanjang hari seolah terbayar dengan melihat tanda tangan beserta cap desa tertera di surat tugas kami. Terimakasih Pak Mus. Perjalanan hari ini sangat melelahkan sekaligus menegangkan. Tabe’ pak. Secangkir kopi hitam dan sepiring pallu butung request Pak Mus sudah siap disajikan.!

 
https://www.google.co.id/search?




2 komentar: