Oleh : Rahma Aulia
![]() |
| image taken from my smartphone |
Setelah berkutat dengan Susenas di bulan maret, saya kembali
di fungsikan di BPS dalam pelaksanaan pemetaan peta untuk persiapan Survey
ekonomi 2016. Bersama lima orang mitra BPS lainnya, kami ditugaskan di beberapa
kecamatan. Dan saya yang paling cantik sendiri karena satu-satunya perempuan,
dipercayakan untuk menyelesaikan lima blok sensus. Tiga blok di kecamatan
Mandai, dua blok kecamatan Tanralili dan satu blok di kecamatan Tompobulu’.
Untuk melakukan pemetaan ini, kami
harus menyusuri blok sensus guna melihat
keadaan terkini. Kemudian memberi simbol pada kertas dorslage yang merupakan kertas jiplak dari peta asli pada tahun
2009 yang akan di perbaharui.
Menghadapi keloknya perjalanan dan dimanjakan
suasana alam juga pernah saya alami ketika melakukan pemetaan peta di Tompobulu
Dusun Batu Lotong. Untuk soal pembaharuan simbol dan penambahan bangunan baru
seperti sekolah dan masjid, tak begitu sulit untuk di telusuri. Dusun tersebut
terbilang tidak pesat perkembangan pembangunannya. Hamparan sawah yang tertera
di peta tahun 2009 masih sama hingga kini. Nuansa alam dan pedesaan masih
begitu kental, sehingga tidak begitu menyulitkan saya untuk menentukan jumlah
bangunan fisik, bangunan sensus, bangunan kosong dan tempat usaha.
Seorang pemuda yang merupakan anak
dari pak Dusun Batu Lotong tersebut berkenan mambantu saya memberi gambaran
lokasi dan membantu menyusuri wilayah blok sensus tersebut bersama-sama. Ketika
pembaharuan peta blok sensus di wilayah tersebut sudah fix, saya melanjutkan perjalanan untuk
membawa surat tugas saya ke Kantor Desa Puca’ yang letaknya berada di sebelah
dusun tersebut yang memiliki dua aternatif untuk sampai. Untuk ke sebelah, kita
tinggal memilih untuk lewat jembatan gantung yang jaraknya 3 km dari dusun
tersebut atau memilih alternatif yang lebih cepat yakni menyebrang sungai.
Berdasarkan saran dari anak dan istri
pak dusun, (karena pada saat saya berada di dusun tersebut, Bapak Dusun tengah
keluar menggarap ladangnya di hamparan tanah bekas sawah). Akhirnya, saya
memutuskan untuk menyebrang sungai saja. Saya hanya perlu menyusuri jalanan beton
sepanjang dua meter untuk sampai di kebun berawa-rawa yang sebagian lahannya di
jadikan jalanan untuk menuju sungai yang di maksud. Bekas hujan semalam,
membuat jalanannya yang bertanah menjadi licin dan sedikit mengotori bagian kap depan motor beat saya. Jalanan setapak itu akhirnya mempertemukan saya dengan
sungai yang airnya tergenang bening nan hijau oleh pantulan pepohonan yang
rindang. Alam pegunungan terpampang indah di depan mata. Hati saya yang sedari
tadi kuyu karena terpapar sinar mata
hari, selaksa nyaman dan tentram.
Berselang lima menit, saya bertemu
dengan seorang anak perempuan sepandar adik saya yang kira-kira berumur 10
tahun. Berseragam putih merah tengah menunggu di bawah pohon yang rindang.
Rupanya dia juga ingin menyebrang. “Dik, bagaimana cara kita menyebrang? Sungai
ini terlihat sunyi. Dimana pemilik raki’-raki’na?”
Tanya saya seraya mengulurkan tangan dengan sebungkus cemilan yang tadi saya
beli di warung ibu dusun sambil tersenyum. Adik itu menyambut dengan sumringah.
“Terimakasih kak”. Ujarnya. “Coba kasi’
bunyi-bunyi itu motorta.” Lama baru kemudian saya paham, kasi’ bunyi-bunyi motorta’ yang dimaksud
adik ini adalah menekan klakson berkali-kali pada motor, agar empunya sampan
disebrang sana mendengarnya. Saran itu ku lakukan. Tapi tak kunjung datang. Tak
apalah, sambil menunggu saya bisa menikmati panorama di sini, menghasilkan
beberapa foto selfie dan rehat. Duduk di atas rumput datar menghijau.
Tak lama setelah jeda dengan menghabiskan cemilan kerupuk jari-jari, permen tamarin dan sebotol aqua bersama adik berkulit sawo ini, seorang bapak menggunakan saraung (Topi sawah, red) muncul di seberang sana. Pucuk di cita ulam pun tiba. Akhirnya.!!
Tak lama setelah jeda dengan menghabiskan cemilan kerupuk jari-jari, permen tamarin dan sebotol aqua bersama adik berkulit sawo ini, seorang bapak menggunakan saraung (Topi sawah, red) muncul di seberang sana. Pucuk di cita ulam pun tiba. Akhirnya.!!
Raki’-raki’
berbahan bambu sama panjang yang dirakit bersisian yang biasa di sebut sampan
itu menepi. Anak perempuan itu berlari-lari kecil menuju rakit. Tangannya
melambai-lambai ke arahku kegirangan. Seolah memperkenalkan kepadaku kendaraan
paling berjasa yang membantunya untuk sampai sekolah. Dari kejahuan nampak
seorang ibu menjinjing kantong plastik bersama dua bocah yang mungkin anaknya
berlari menuju rakit. Rupanya ibu itu menunggu di bawah pohon lain di ujung
bagian sana.
Saya sedikit ketakutan pada awalnya.
Motor beat saya gas menaiki tangga
papan yang di hubungkan ke rakit oleh bapak tua itu. Demi tanda tangan pak Desa, tak apalah saya
berjibaku dengan rakit ini. Batinku.
Tak butuh waktu lama, saya sudah
bersama motor saya di atas rakit itu, bersama adik perempuan berjilbab putih
dengan seragam berlengan pendek yang sedari tadi menemani saya, ibu gemuk dan
dua orang bocah beserta pak Tua bersaraung yang mengendalikan rakit itu
dengan urat-urat tangannya yang melingkar penuh kegigihan.
Rakit kembali menepi. Anak perempuan
itu meloncat dan berlari sambil melambaikan tangan tanda perpisahan. Saya
membalas dengan senyum selebar mungkin. “Hati-hati dik sampai jumpa lagi”.
Begitu pula halnya Ibu dan dua bocah itu telah pergi lebih dulu, sementara saya
masih menurunkan motor beat saya ke tepi. Berkat Bapak tua itu yang kembali
menghubungkan tangga papan dari rakit ke tepi sungai.
Dengan selembar uang lima ribu, kaki
saya sudah berpijak di seberang. Bapak bersaraung
itu berkenan becerita sedikit tentang rutinitasnya ketika saya tanyai. Rupanya
sudah 10 tahun bapak ini melakoni rutinitas yang merupakan satu dari
sekian mata pencaharian beliau. Bukan hanya beliau, sesekali anaknya membantu
ketika libur sekolah. “Saya tanya anak-anakku, kalau mau berhasil apa saja di
kerja, yang penting halal. Tidak boleh gengsi” Ujarnya menutup perbincangan
singkat kami. Saya terenyuh mendengar penuturan beliau. Dapat pelajaran penting
lagi. Benar kata para filosof, sejatinya, kita dapat belajar dan mengambil pelajaran hidup di mana dan kapan saja. Bahkan lima menit menyebrang di atas rakit
sekalipun. “Terimakasih pak, sampai ketemu lagi” Ucap saya sambil pamit seraya
menjabat tangan beliau.
Saya kira, perjalanan saya akan
enteng setelah itu. Rupanya saya harus menyusuri jalan setapak berbatu yang membuat
motor saya melaju dengan getar. Setelah jalan berbatu, berbelok ke arah kiri
yang merupakan jalan beraspal yang mulus membuat hati saya lega bukan kepalang.
Setelah singgah beberapa kali untuk bertanya ke beberapa orang, akhirnya saya
temui kantor desa yang saya tuju.
Saya melewati kantor Camat
Tompo’bulu, jalanan menuju permandian puca’, lalu masjid yang berseblahan
dengan kantor Desa Puca’. Laju motor beat saya semakin enteng hingga berada di
depan halaman kantor. Mata saya tertuju pada sebuah sepeda motor kalau tidak
salah bermerk yamaha vixion berplat
merah yang sepertinya familiyar.
Satu-satunya motor yang terparkir dan menjadi genap dengan motor beat saya.
Kantor nampak sunyi, tak ada suara aktifitas yang terdengar dari dalam. Bahkan
suara derap langkah sepatu pun tidak.
Ketika saya berada di muka pintu
kantor, seorang bapak menyapa saya dengan hangat. Rupanya motor di luar milik
beliau, pantas tak asing di mata saya. Beliau Pak Mustafa, yang akrab disapa
pak Mus. Adalah KSK kecamatan Simbang yang memiliki maksud yang sama.
Menyodorkan surat tugas survey ubinan beliau. Tak sangka Allah mempertemukan
kami di kantor ini.
Rupaya Tak ada Pak Kades, Cap desa
pun ikut bersama beliau. Berarti tak ada tanda tangan pula. Apatah hanya ada
seorang staf perempuan berbaju linmas yang masih stay di kantor itu seorang diri. Setelah membubuhkan paraf sebagai
pengunjung pada daftar kunjungan, kami segera pamit. Sebelum memutuskan untuk
ke rumah pak desa, yang berjarak kurang lebih lima km dari kantor desa, kami
memutuskan shalat duhur berjamaah bersama pegawai kantor camat terlebih dahulu.
Rehat sejenak, menyantap bekal makan siang, meneguk beberapa kali air aqua yang
kami bawa lalu on the way.
Perjalanan saya kali ini tak lagi
sendiri. Saya mengekor dari belakang mengikuti Pak Mus menuju rumah pak desa.
Dari masjid kami kembali ke arah datang sebelumnya, jika tadi saya berbelok ke
arah kiri, saya tak lagi berbelok kearah sebelumnya melainkan lurus ke depan
hingga bertemuu dengan pertigaan. Tetap lurus dari jalanan beton hingga
menyusuri jalanan berbatu bercampur kerikil yang terjal. Hati saya sempat
was-was. Takut kalau-kalau ban motor saya bocor karena batu-batu itu.
Pengalaman waktu pendataan susenas di Marumpa’. Bolak balik rumah responden
untuk shalat ke masjid dan harus melewati jalanan berbatu seperti itu agar
cepat sampai, mengakibatkan ban dalam saya bocor. Mudah mudahan saja tidak.
Karena tak ada bengkel di sekitar. Samping kanan kiri hanya ada rumput ilalang
setinggi dada orang dewasa tumbuh subur. Hanya satu dua rumah yang di temui
pun jaraknya saling berjauhan. Sesekali
kami singgah di depan rumah warga untuk bertanya letak rumah pak desa. Setelah
menyusuri jalanan berbatu itu yang membuat motor saya kembali melaju
dengan getar selama 15 menit, barulah
kami sampai di rumah batu bermotif klasik bercat abu-abu yang masih sementara
di renovasi. Rumah Pak Desa Puca’.
Hanya dua orang anak perempuan yang
kutaksir berusia 9 tahun dan adiknya berusia 5 tahun yang kami jumpai tengah
bermain masak-masak di teras rumah. Ternyata hanya mereka berdua, bapak mereka
yang tak lain tak bukan adalah pak desa bersama sang isteri sedang keluar entah
kemana. Anaknya juga tak tau orang tua mereka sedang keluar kemana dan dimana.
Daripada saya menunggu terlalu lama,
Pak Mus menyarankan agar saya pulang saja. Beliau meminta surat tugas pemetaan
saya, biar beliau yang serahkan untuk di tanda tangani oleh pak desa. Sekalian.
“Mending Rahma pulang. Biar saya saja yang menunggu.” Saran beliau. Sebelum
saya pulang, beliau request kopi
hitam dan pallu butung. “Sebentar sore
saya singgah di rumahta’” Ujar beliau. “Ok pak!!” Ucap saya seraya mengajukan
jempol tanda setuju.
Motor beat saya kembali melaju
menyusuri jalan berbatu. Saya melewati jalan pintas, dari rumah pak desa saya
terus ke depan lalu belok kanan, berdasarkan gambaran arah jalan dari seorang
pemuda sekitar dusun tersebut. Sepanjang perjalanan saya tak berhenti bertanya
setiap kali bertemu dengan orang yang melintasi jalan yang saya susuri. Atau
saat saya harus merasa sendiri karena hanya ada saya sorang diri. Menyusuri
area serupa hutan yang tanahnya lembab hingga menuntut saya untuk memutar gas
lebih kuat agar ban motor saya tidak kandas oleh tanah yang belepotan. Kanan
kiri pepohonan jati dan akar pohon yang mengakar keluar tak terlihat baik, menghantam ban motor
beat membuat tubuh saya yang ringan
terguncang. Lagi-lagi saya merapalkan doa dalam hati. Semoga ban motorku tak
bocor lagi.
Hingga akhirnya saya bertemu serupa
bendungan. Melewatinya dengan jembatan semen sempit yang membuat jantung saya
berdegup. Takut jatuh bersama beat. Untung saja, kanan kiri jembatan kecil itu
di lengkapi dinding seukuran pinggang perempuan mungil seperti saya. Setelah melalui jembatan, saya bertemu
Jalanan beton lau memilih berbelok ke arah kiri. Sengat matahari di siang
bolong pukul 14:00 di siang itu semakin terasa di ubun-ubun.
Masih di jurusan yang sama, tak lama
saya bertemu dengan jalanan beton yang masih sementara di perbaiki. Sehingga
saya harus melewati jalanan pinggir beton yang becek oleh luahan semen dan
pasir.
Untung saja tak begitu lama saya
harus berjibaku dengan jalanan sempit seperti itu. Saya kembali naik ke jalanan
beton yang sudah siap pakai. Saya melirik jam tangan di pergelangan tangan kiri
saya sambil motor beat terus melaju dengan ringan. Perjalanan selanjutnya
adalah jalanan beton berkelok. Sepanjang perjalanan saya bisa berteriak bahkan
bernyanyi sesuka hati. Jalanan sepi bebas hambatan yang terhubung dari Baku’
tembus hingga ke pasar carangaki Tanralili’.
Masjid Minal Aidzin Carangki tepat di
depan mata. Saya lalu memilih berbelok kanan. Lega luar biasa, rute perjalanan
berikutnya adalah jalur yang dihapal di luar kepala. Perjalanan pulang ke
rumah.
Setelah sampai di rumah, saatnya saya
bersama mama berjibaku di dapur. Sesisir pisang raja yang saya beli dari
seorang tante penjual pisang di dusun sebelah, (Dusun Bontocinde) siap di olah
menjadi kue tradisional khas Makassar yang selalu axis sepanjang masa. Pisang yang di potong-potong, tepung terigu,
santan dan gula pasir di aduk hingga mengental dalam panci aluminium berukuran
sedang.
Pak Mus sudah tiba di rumah sebelum
ashar. Lebih cepat dari perkiraan. Beliau membawa surat tugas beliau sekaligus
surat tugas yang saya titip telah lengkap dengan tanda tangan pak desa yang
kami upayakan seharian ini. Alhamdulillah, rasa lelah sepanjang hari seolah
terbayar dengan melihat tanda tangan beserta cap desa tertera di surat tugas
kami. Terimakasih Pak Mus. Perjalanan hari ini sangat melelahkan sekaligus
menegangkan. Tabe’ pak. Secangkir kopi hitam dan sepiring pallu butung request Pak Mus sudah siap disajikan.!


Harus nalihat pak mus ini.hehe.... Mantap
BalasHapusHahaa....mantap pallu butungnya :D
Hapus