Minggu, 03 Januari 2016

Bergembira di Bira Pasca Ultah Kak Ira



Aroma laut menguar, pohon nyiur melambai di sepanjang jalan. Bahagia hati kami tak tertampung. Sebelum kami melanjutkan perjalanan pulang ke Butta Salewangeng Maros, pasca ultah salah satu rekan kami, kak Ira di Sinjai borong, kami mengunjungi salah satu pantai yang tak asing lagi di Kab. Bulukumba.
Kak Ira bersama sang sepupu yang kami sapa kak Tulla turut hadir mengikut rombongan kami. Sebagaimana Kak Ira merekomendasikan destinasi wisata ini yang terletak di Desa Bira. Sebelah Selatan Sulawesi dan hanya berjarak 153 km dari kota Makassar. Sementara hanya berjarak kurang lebih 67 km dari kota Sinjai.
Saya dan kyna merasa senang sekali. Pasalnya memang baru pertama kali hendak bertandang ke Tanjung Bira. Sepanjang perjalanan, saya dan kyna yang duduk di jok belakang hikmat mendengar bincang-bincang seputar pengalaman mereka ketika bertandang ke Tanjung Bira tahun lalu, enam bulan lalu dan ada yang beberapa tahun lalu.
Kak Yudis, sang driver yang setia membawa kami menelusuri rute, membelokkan mobil menuju jalanan menurun ke arah pantai yang kami lihat dari kejauhan. Tak ada aspal pada jalan tersebut,  hanya jalanan setapak berpasir yang mengeras akibat sering di lalui. Di sekitarnya terdapat beberapa penginapan yang mengahadap ke arah laut, berbaur dengan pemukiman penduduk.
Seperti kebanyakan orang ketahui, khususnya bagi yang pernah berkunjung, Tanjung Bira merupakan salah satu tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan. Sejauh mata melempar pandang, kita akan di manjakan pemandangan garis pantai yang membujur panjang membentang. Di sini, kita dapat menikmati suguhan indahnya air laut yang tersusun dari tiga warna yang disebabkan oleh tingkat kedalaman lautnya. Masih jernih dengan gradasi biru-toska yang menawan. Hanya saja, menurut hemat dan pengamatan saya, andai sampah-sampah, serta timbunan rumput laut yang hanyut ke daratan sigap di bersihkan, pasti pantai ini akan lebih sedap di pandang mata.
Debur ombak menggulung terdengar menyentuh bibir pantai. Langkah kami lincah menyentuh bulir-bulir pasir halus seperti tepung. Lantas menjinjing barang bawaan kami yang diturunkan dari sadel mobil. Tas untuk pakaian ganti, dan bekal yang sudah kami upayakan di dapur milik kak Ira sejak pagi. Kami memilih salah satu bale-bale untuk kami teduhi. Sejenak istirahat melepas penat selepas perjalanan dari Sinjai sembari mengedar pandang ke kilaunya panorama laut. Berselfie dengan latar belakang baju-baju kaos yang bertuliskan Tanjung Bira dan celana sor yang di jual. Rapi bergantungan. Bergoyang-goyang di terpa angin laut.
Cream pelindung dari panas matahari SPF 50 milik Kyna sudah meresap di kulit. Setidaknya kulit kami tak lotong seketika oleh sengatan matahari dan kolaborasi air asin. Syukur, cuaca di hari itu nampaknya sangat bersahabat. Tidak mendung mencekam, tidak pula panas yang keterlaluan. Dengan cuaca bersahabat seperti ini, tentu kami bisa saja menikmati beragam wisata bahari yang bisa di temui disini, mulai dari banana boat sampai diving. Bila hari semakin terik dan lapar setelah bermain air, di sekitar pantai berjajar warung-warung yang menyediakan minuman dingin, makanan ringan, maupun hidangan ikan bakar. Saya bersama kak Galih memilih berjalan lepas menyusuri pantai dengan bertelanjang kaki. Mencari angel yang keren untuk berfoto. D’Perahu Resto berbentuk kapal phinisi yang terlihat kokoh sepanjang mata memandang, menjadi baugroand yang pass buat sedikit bergaya dengan kamera seadanya. Ditemani dengan rekan yang suka jepret, maka jadilah saya model amatiran yang kurang berpengalaman.
Ada beberapa foto yang jadinya kocar-kacir, sebab saya ngotot mau sekali bergaya seperti begitu. Terinspirasi oleh foto-foto Natsumi Hayasi. Adalah seorang fotografer dari Jepang yang kembali mempopulerkan gaya tersebut ke khalayak dengan mengunggah foto-foto hasil karyanya ke situs web. Tapi tak semudah itu rupanya. Apalagi saya bertubuh mungil, sehingga jeda antara melompat dan melayang di udara tak sampai sedetik. Hahaha. Gaya gravitasi menyebabkan cepat sekali jatuh menyentuh dasar.
Gaya melayang di udara yang mau sekali saya paksakan terjadi di kamera hari itu juga, dengan baugroud memancarkan cahaya keperakan oleh pantulan sinar matahari di permukaan laut yang biru, di dalam dunia fotografi di sebut Levitasi. Seorang rekan saya di FLP Camar bernama Kak Hafsi menjelaskan bahwa levitasi adalah suatu seni fotogrfi pada sebuah objek sehingga terkesan melayang di udara. Pengeditanya bisa dilakukan tanpa sofware tapi hasilnya minim. Yakni lompatan secara manual yang di lakukan oleh seorang model. Untuk hal itu saya telah gagal. Tapi untuk hasil yang maksimal, dapat melakukan pengeditan dengan mengaplikasikan program photoshop. Nantilah bisa di coba.


 Setelah sesi berfoto ala model dadakan, saya dan Kak Galih berbaur bersama rekan-rekan lain yang nampaknya sudah turun ke air laut. Ajang selfie disetiap moment memang sudah jadi budaya yah? Buktinya, waterprof siap mengamankan smartphone kak Ika dari cipratan air yang memang sejak awal sudah di persiapkan. Jadilah kami berselfie ria dengan beranekan macam ekspresi dalam keadaan kaki menginjak dasar laut karena diantara kami ada yang tidak bisa berenang. Termasuk saya.
Setelah jenuh berselfie dengan gaya yang itu-itu saja, tetiba salah satu diantara kami teringat dengan seorang tour guide yang menawarkan kami untuk mengunjungi pulau sekalian snorkeling ketika menyusuri pantai. Rentang harga yang di berikan pun lumayan dapat kami jangkau dengan kongsi-kongsi. Setelah sepakat dengan rencana kami selanjutnya untuk menikmati pesona Pantai Bira hari itu dengan mengunjungi Pulau Liukang Loe, sebagian dari kami segera mengamankan barang-barang untuk dititipkan. Mengecek budget, lalu menyewa seorang crew kapal.

Setelah mengenakan pelampung, kami dengan cekatan satu persatu segera menaiki kapal yang sudah siap meluncur. Hanya membutuhkan waktu 20 menit yang dikomandoi oleh pria berkulit sawo matang yang saya taksir berusia 45 tahun itu untuk mencapai Pulau Liukang dengan kapal yang melaju kencang. Pantai di pulau tersebut begitu nikmat karena cenderung masih sepi dan alami. Air laut yang bening nyaris sempurna.
Sebelum berkunjung ke restoran di pulau Liukang Loe untuk mengunjungi penyu hijau, kami melakukan snorkeling terlebih dulu.  Beberapa perlengkapan pun segera kami kenakan sebelum terjun ke air laut yang jernih. Guna memudahkan kami untuk menikmati panorama terumbu karang di bawah laut. Sebagaimana pemandangan air laut di Tanjung Bira menawarkan paduan taman koral dan pelagis. Malah dibeberapa dive site bisa dijumpai beberapa jenis ikan eksotik, seperti: pari manta, hiu, mola mola, ikan banggai (cardinal) penyu lainnya. Primadona yang sesungguhnya di Tanjung Bira, untuk melihat berbagai spesies hiu adalah Pulau Kambing, pulau tak berpenghuni. Kecuali oleh kawanan kambing yang menjadi inspirasi dari namanya. Namun karena arusnya deras, maka situs ini hanya direkomendasikan oleh penyelam yang sudah berpengalaman. Saya dan kawan-kawan menceburkan diri ke spot yang di arahkan oleh bapak pemilik kapal kayu itu. Sayangnya, saya pribadi belum menemukan pemandangan bawah laut yang begitu menarik di spot yang diarahkan oleh bapak berkulit sawo matang tersebut.



Hunting selanjutnya adalah bertandang ke restoran di Pulau Liukang. Di restoan ini,  oleh pengunjung atau turis selain untuk bersantap juga bisa berenang bersama penyu di kolam  atau sekedar melihat-lihat. Restoran dan panorama di Pulau Liukang, menurut saya biasa-biasa saja. Barangkali karena tawaran mengunjungi penyu-penyu di Pulau ini lah yang menambah ekspektasi para pengunjung untuk bertandang. Penyu-penyu Pulau Liukang ini, dpelihara di kolam ukuran 6 X 6  yang berada persis di tengah restoran yang berada di laut.
Dalam kesempatan kali ini, kami ber delapan sempat snorkling di kolam tengah laut itu sambil mengelus-elus punggung karapas penyu. Kami hanya bertemu dengan dua ekor penyu. Barangkali pemilik restoran di kolam tersebut diizinkan hanya memelihara dua ekor penyu saja. Entahlah. Pasalnya, seperti yang kita ketahui semua jenis penyu di Indonesia berstatus dilindungi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, semua jenis penyu masuk ke dalam daftar merah  IUCN dan masuk apendika 1 CITES yang berarti statusnya  terancam punah dan tidak boleh diperdagangkan.
Berdasarkan informasi dari artikel yang saya baca, penyu hijau di Tanjung Bira mulanya berjumlah sekitar 20 ekor. Paling lama penyu tersebut telah dipelihara selama 2 tahun dengan berat bervariasi antara 40 kg sampai 110 kg dan semuanya berjenis kelamin betina. Dipelihara oleh seorang pengumpul ikan selain sebagai pemilik restoran di laut pantai Tanjung Bira. Kini penyu-penyu tersebut telah diserahkan untuk direlease kembali ke laut. 

Setelah puas bermain bersama penyu, dan mengitari kolam yang airnya tenang, saya yang sempat diajarkan cara berenang oleh salah satu rekan merasa masih ingin berlama-lama. Namun kebetahan saya dipatahkan oleh beberapa pengunjung lain yang juga ingin berenang dan berjumpa dengan penyu yang ada disitu. Akhirnya, setelah mengabadikan momen dengan beberapa kali jepret, kami bergegas menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu yang ditata jarang, untuk naik ke atas dan kembali ke kapal yang kami sewa. Kami hanya dapat menyewa kapal sampai 4 jam saja, waktunya terbatas memang dengan budget kongsi-kongsi berdelapan 300 ribu. Sebelum meninggalkan Pulau Liukang Loe, Kak Alif yang notobene anti berjibaku dengan atraksi dan gaya yang frontal, sempat beratraksi jumping dari atas teras restoran ke air laut, lantas aksinya tersebut minta di abadikan. Sayangnya, posisi pengambilan dan endingnya kurang pass, sehingga moment tersebut gagal diabadikan.
Apatah hampir saja senja. Serupa alaram yang menyadarkan kami bahwa perjalanan pulang ke maros masih amatlah panjang. Kak Alif tak mempermasalahkan atas kegagalan pengabadian aksinya tersebut, sehingga sepanjang perjalanan kembali menuju Pantai Bira, kami hikmat berdiam tampa suara. Sembari menghayati perjalanan dengan hati berdecak terpukau. Cipratan air yang berderu di bawah kapal menambah kesan eksotik dan indahnya panorama laut. Sepanjang ekor mata memandang, setiap lini pulau-pulau terlihat dari kejauhan. Melejitkan adrenalin kami untuk tak habis habisnya menyelami keindahan panorma yang di tawarkan pantai di kabupaten yang dijuluki Butta Panrita Lopi ini. Bumi atau tanah para ahli pembuat phinisi.
Selepas kembali ke tepi Pantai Bira, kami melepas pelampung dan kembali bermain air. Lantas memilih naik bergantai pakaian setelah mata mulai perih dan kerongkongan sudah menolak air asin yang tak sengaja tertelan beberapa kali. Kami bergegas. Berganti pakaian, lantas menggelar sajadah di atas bale-bale sembari merasakan terpaan angin laut. Sepoi, mendekap luruh di setiap gerakan sholat hingga akhir. Kemudian lanjut menikmati penganan bekal. Menyingkirkan rasa lapar kami setelah snorkeling.
Selama proses memasak pagi tadi, Kak Ira selaku tuan rumah bersama mamanya sibuk menari-nari di dapur. Menyediakan keperluan masak memasak. Kyna bertugas membersihkan cumi-cumi yang sedari tadi menggiurkan kami ketika berkeliling di Pasar Sinjai. Sementara saya  mengupas dan mengulek rempah-rempah sampai mata merah nyaris menangis karena bawang merah. Hasil masakan yang berhasil diolah adalah  ayam lalapan, tumis cumi, telur rebus dan mie goreng. Chef andalan kami yang berhasil mengolah hidangan aduhai tersebut adalah perempuan keibuan yang over ceria. Kak Ika. Sementara tukang cicip paling top dalam hal mengomentari cita rasa masakan adalah lelaki independen berwajah oriental yang tak asing lagi. Kak Alif.
Alhamdulillah, jengah telah lindap di sapu gemuruh air laut. Rasa lapar pun telah lenyap oleh hidangan yang luar biasa nikmat. Setelah piring kami licin tandas, rantang perbekalan dan tas jinjing segera kami amankan masing-masing. Kami memutuskan untuk kembali menuju mobil. Membawa kembali tas jinjingan lantas meninggalkan jejak kaki kami di pasir putih bak tepung itu.
Mesin mobil berderum nyaring menyusuri jalanan berpasir yang kami susuri sebelumnya ketika datang, lantas berbelok. Memilih singgah terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Maros di salah satu spot, yang lebih sepi dan eksklusif. Setelah mobil terparkir di area yang bertuliskan Bira Driver’s di kayu yang berbentuk panah dengan tinggi kira-kira satu setengah meter, kami segera berhambur ke luar mobil. Memilah milih beragam bentuk souvenir sesuai selera. Masyarakat di pesisir Tanjung Bira sangat kreatif dalam memanfaatkan kerang dari laut menjadi benda yang lebih bernilai ekonomis.
Setelah memilih cendramata yang pass dan cocok di pergelangan tangan kami masing-masing, yang di jual oleh seorang gadis bermata sayu berwajah pasif yang nampaknya susah untuk sekedar tersenyum. Kami lantas mengayun langkah dengan manja. Naik ke atas spot teras berubin yang posisinya lebih tinggi dari dasar laut. Ada beberapa muda-mudi disitu, yang sepertinya adalah warga sekitar yang nimbrung menikmati panorama sunset khas Pantai Bira. 



Kami bergeming rileks, berdiri beriringan menatap sunset yang nampak merah kemegah-megahan. Membawa keawang-awang kita dalam keindahan tiada batas sesaat menjelang matahari terbenam. Sensasi sunsentnya dipadu terpaan angin laut yang menampar gemulai terasa bersenyawa dengan kesenyapan alami nan tentram. Dalam kesenyapan memandang senja nan indah, saya lantas mengakhiri sensasi piknik dadakan ini dengan menarik benang merah. Bahwa segenap kemolekan yang di suguhkan Tanjung Bira, dan pulau-pulau di sekelilingnya pun masih ada spot yang memang perlu dibenahi. Terutama masalah sampah yang mesti menjadi perhatian pengelola wisata Bira. Tentu bekerja sama dengan warga yang bermukim disekitarnya. Toh sebagai wujud kepedulian kita untuk menjaga dan terus merawat dengan penuh kesadaran diri, terhadap objek wisata yang begitu memukau, sebagaimana telah Tuhan ciptakan nyaris tampa cela.
Saya berharap, semoga Tanjung Bira terus berbenah dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Terus berinovasi, agar dapat menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang ada di Indonesia. Diminati baik di mata pelancong pribumi maupun mancanegara secara luas. Semoga.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar