Aroma
laut menguar, pohon nyiur melambai di sepanjang jalan. Bahagia hati kami tak
tertampung. Sebelum kami melanjutkan perjalanan pulang ke Butta Salewangeng Maros,
pasca ultah salah satu rekan kami,
kak Ira di Sinjai borong, kami mengunjungi salah satu pantai yang tak asing
lagi di Kab. Bulukumba.
Kak Ira bersama sang sepupu yang kami sapa kak Tulla
turut hadir mengikut rombongan kami. Sebagaimana Kak Ira merekomendasikan
destinasi wisata ini yang terletak di Desa Bira. Sebelah Selatan Sulawesi dan
hanya berjarak 153 km dari kota Makassar. Sementara hanya berjarak kurang lebih
67 km dari kota Sinjai.
Saya
dan kyna merasa senang sekali. Pasalnya memang baru pertama kali hendak bertandang
ke Tanjung Bira. Sepanjang perjalanan, saya dan kyna yang duduk di jok belakang
hikmat mendengar bincang-bincang seputar pengalaman mereka ketika bertandang ke
Tanjung Bira tahun lalu, enam bulan lalu dan ada yang beberapa tahun lalu.
Kak
Yudis, sang driver yang setia membawa
kami menelusuri rute, membelokkan mobil menuju jalanan menurun ke arah pantai
yang kami lihat dari kejauhan. Tak ada aspal pada jalan tersebut, hanya jalanan setapak berpasir yang mengeras
akibat sering di lalui. Di sekitarnya terdapat beberapa penginapan yang
mengahadap ke arah laut, berbaur dengan pemukiman penduduk.
Seperti
kebanyakan orang ketahui, khususnya bagi yang pernah berkunjung, Tanjung Bira
merupakan salah satu tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan. Sejauh mata melempar
pandang, kita akan di manjakan pemandangan garis pantai yang membujur panjang
membentang. Di sini, kita dapat menikmati suguhan indahnya air laut yang
tersusun dari tiga warna yang disebabkan oleh tingkat kedalaman lautnya. Masih
jernih dengan gradasi biru-toska yang menawan. Hanya saja, menurut hemat dan
pengamatan saya, andai sampah-sampah, serta timbunan rumput laut yang hanyut ke
daratan sigap di bersihkan, pasti pantai ini akan lebih sedap di pandang mata.
Debur
ombak menggulung terdengar menyentuh bibir pantai. Langkah kami lincah
menyentuh bulir-bulir pasir halus seperti tepung. Lantas menjinjing barang
bawaan kami yang diturunkan dari sadel mobil. Tas untuk pakaian ganti, dan
bekal yang sudah kami upayakan di dapur milik kak Ira sejak pagi. Kami memilih
salah satu bale-bale untuk kami
teduhi. Sejenak istirahat melepas penat selepas perjalanan dari Sinjai sembari mengedar
pandang ke kilaunya panorama laut. Berselfie dengan latar belakang baju-baju
kaos yang bertuliskan Tanjung Bira dan celana sor yang di jual. Rapi bergantungan. Bergoyang-goyang di terpa
angin laut.
Cream
pelindung dari panas matahari SPF 50 milik
Kyna sudah meresap di kulit. Setidaknya kulit kami tak lotong seketika oleh sengatan matahari dan kolaborasi air asin.
Syukur, cuaca di hari itu nampaknya sangat bersahabat. Tidak mendung mencekam,
tidak pula panas yang keterlaluan. Dengan cuaca bersahabat seperti ini, tentu
kami bisa saja menikmati beragam wisata bahari yang bisa di temui disini, mulai
dari banana boat sampai diving. Bila hari semakin terik dan
lapar setelah bermain air, di sekitar pantai berjajar warung-warung yang
menyediakan minuman dingin, makanan ringan, maupun hidangan ikan bakar. Saya
bersama kak Galih memilih berjalan lepas menyusuri pantai dengan bertelanjang
kaki. Mencari angel yang keren untuk
berfoto. D’Perahu Resto berbentuk kapal
phinisi yang terlihat kokoh sepanjang mata memandang, menjadi baugroand yang pass buat sedikit bergaya
dengan kamera seadanya. Ditemani dengan rekan yang suka jepret, maka jadilah
saya model amatiran yang kurang berpengalaman.
Ada
beberapa foto yang jadinya kocar-kacir, sebab saya ngotot mau sekali bergaya
seperti begitu. Terinspirasi oleh foto-foto Natsumi Hayasi. Adalah seorang
fotografer dari Jepang yang kembali mempopulerkan gaya tersebut ke khalayak
dengan mengunggah foto-foto hasil karyanya ke situs web. Tapi tak semudah itu
rupanya. Apalagi saya bertubuh mungil, sehingga jeda antara melompat dan melayang
di udara tak sampai sedetik. Hahaha. Gaya gravitasi menyebabkan cepat sekali
jatuh menyentuh dasar.
Gaya
melayang di udara yang mau sekali saya paksakan terjadi di kamera hari itu juga,
dengan baugroud memancarkan cahaya
keperakan oleh pantulan sinar matahari di permukaan laut yang biru, di dalam
dunia fotografi di sebut Levitasi. Seorang rekan saya di FLP Camar bernama Kak
Hafsi menjelaskan bahwa levitasi adalah suatu seni fotogrfi pada sebuah objek sehingga
terkesan melayang di udara. Pengeditanya bisa dilakukan tanpa sofware tapi hasilnya minim. Yakni
lompatan secara manual yang di lakukan oleh seorang model. Untuk hal itu saya
telah gagal. Tapi untuk hasil yang maksimal, dapat melakukan pengeditan dengan mengaplikasikan
program photoshop. Nantilah bisa di
coba.
Setelah sesi berfoto
ala model dadakan, saya dan Kak Galih berbaur bersama rekan-rekan lain yang nampaknya
sudah turun ke air laut. Ajang selfie disetiap moment memang sudah jadi budaya
yah? Buktinya, waterprof siap
mengamankan smartphone kak Ika dari
cipratan air yang memang sejak awal sudah di persiapkan. Jadilah kami berselfie ria dengan beranekan macam ekspresi
dalam keadaan kaki menginjak dasar laut karena diantara kami ada yang tidak
bisa berenang. Termasuk saya.
Setelah
jenuh berselfie dengan gaya yang itu-itu saja, tetiba salah satu diantara kami teringat
dengan seorang tour guide yang
menawarkan kami untuk mengunjungi pulau sekalian snorkeling ketika menyusuri pantai. Rentang harga yang di berikan pun
lumayan dapat kami jangkau dengan kongsi-kongsi. Setelah sepakat dengan rencana
kami selanjutnya untuk menikmati pesona Pantai Bira hari itu dengan mengunjungi
Pulau Liukang Loe, sebagian dari kami segera mengamankan barang-barang untuk
dititipkan. Mengecek budget, lalu menyewa
seorang crew kapal.
Setelah
mengenakan pelampung, kami dengan cekatan satu persatu segera menaiki kapal yang sudah siap meluncur. Hanya membutuhkan waktu 20 menit yang
dikomandoi oleh pria berkulit sawo matang yang saya taksir berusia 45 tahun itu
untuk mencapai Pulau Liukang dengan kapal
yang melaju kencang. Pantai di pulau tersebut begitu nikmat karena
cenderung masih sepi dan alami. Air laut yang bening nyaris sempurna.
Sebelum
berkunjung ke restoran di pulau Liukang Loe untuk mengunjungi penyu hijau, kami
melakukan snorkeling terlebih dulu. Beberapa perlengkapan pun segera kami
kenakan sebelum terjun ke air laut yang jernih. Guna memudahkan kami untuk
menikmati panorama terumbu karang di bawah laut. Sebagaimana pemandangan air
laut di Tanjung Bira menawarkan paduan taman koral dan pelagis. Malah
dibeberapa dive site bisa dijumpai
beberapa jenis ikan eksotik, seperti: pari manta, hiu, mola mola, ikan banggai
(cardinal) penyu lainnya. Primadona yang
sesungguhnya di Tanjung Bira, untuk melihat berbagai spesies hiu adalah Pulau
Kambing, pulau tak berpenghuni. Kecuali oleh kawanan kambing yang menjadi
inspirasi dari namanya. Namun karena arusnya deras, maka situs ini hanya
direkomendasikan oleh penyelam yang sudah berpengalaman. Saya dan kawan-kawan
menceburkan diri ke spot yang di
arahkan oleh bapak pemilik kapal kayu itu. Sayangnya, saya pribadi belum
menemukan pemandangan bawah laut yang begitu menarik di spot yang diarahkan oleh bapak berkulit sawo matang tersebut.
Hunting selanjutnya adalah bertandang
ke restoran di Pulau Liukang. Di restoan ini, oleh pengunjung atau turis selain untuk
bersantap juga bisa berenang bersama penyu di kolam atau sekedar melihat-lihat. Restoran dan
panorama di Pulau Liukang, menurut saya biasa-biasa saja. Barangkali karena
tawaran mengunjungi penyu-penyu di Pulau ini lah yang menambah ekspektasi para
pengunjung untuk bertandang. Penyu-penyu Pulau Liukang ini, dpelihara
di kolam ukuran 6 X 6
yang berada persis di tengah restoran yang
berada di laut.
Dalam
kesempatan kali ini, kami ber delapan sempat snorkling di kolam tengah laut itu sambil mengelus-elus punggung
karapas penyu. Kami hanya bertemu dengan dua ekor penyu. Barangkali pemilik
restoran di kolam tersebut diizinkan hanya memelihara dua ekor penyu saja.
Entahlah. Pasalnya, seperti yang kita ketahui semua jenis penyu di Indonesia
berstatus dilindungi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999, semua
jenis penyu masuk ke dalam daftar merah
IUCN dan masuk apendika 1 CITES yang berarti statusnya terancam punah dan tidak boleh
diperdagangkan.
Berdasarkan
informasi dari artikel yang saya baca, penyu hijau di Tanjung Bira mulanya
berjumlah sekitar 20 ekor. Paling lama penyu tersebut telah dipelihara selama 2
tahun dengan berat bervariasi antara 40 kg sampai 110 kg dan semuanya berjenis
kelamin betina. Dipelihara oleh seorang pengumpul ikan selain sebagai pemilik
restoran di laut pantai Tanjung Bira. Kini penyu-penyu
tersebut telah diserahkan untuk direlease
kembali ke laut.
Setelah
puas bermain bersama penyu, dan mengitari kolam yang airnya tenang, saya yang
sempat diajarkan cara berenang oleh salah satu rekan merasa masih ingin
berlama-lama. Namun kebetahan saya dipatahkan oleh beberapa pengunjung lain
yang juga ingin berenang dan berjumpa dengan penyu yang ada disitu. Akhirnya,
setelah mengabadikan momen dengan beberapa kali jepret, kami bergegas menaiki
anak tangga yang terbuat dari kayu yang ditata jarang, untuk naik ke atas dan
kembali ke kapal yang kami sewa. Kami
hanya dapat menyewa kapal sampai 4
jam saja, waktunya terbatas memang dengan budget
kongsi-kongsi berdelapan 300 ribu. Sebelum meninggalkan Pulau Liukang Loe, Kak Alif
yang notobene anti berjibaku dengan
atraksi dan gaya yang frontal, sempat
beratraksi jumping dari atas teras
restoran ke air laut, lantas aksinya tersebut minta di abadikan. Sayangnya,
posisi pengambilan dan endingnya kurang pass, sehingga moment tersebut gagal diabadikan.
Apatah
hampir saja senja. Serupa alaram yang menyadarkan kami bahwa perjalanan pulang
ke maros masih amatlah panjang. Kak Alif tak mempermasalahkan atas kegagalan
pengabadian aksinya tersebut, sehingga sepanjang perjalanan kembali menuju
Pantai Bira, kami hikmat berdiam tampa suara. Sembari menghayati perjalanan
dengan hati berdecak terpukau. Cipratan air yang berderu di bawah kapal menambah kesan eksotik dan
indahnya panorama laut. Sepanjang ekor mata memandang, setiap lini pulau-pulau
terlihat dari kejauhan. Melejitkan adrenalin kami untuk tak habis habisnya
menyelami keindahan panorma yang di tawarkan pantai di kabupaten yang dijuluki
Butta Panrita Lopi ini. Bumi atau tanah para ahli pembuat phinisi.
Selepas
kembali ke tepi Pantai Bira, kami melepas pelampung dan kembali bermain air.
Lantas memilih naik bergantai pakaian setelah mata mulai perih dan kerongkongan
sudah menolak air asin yang tak sengaja tertelan beberapa kali. Kami bergegas.
Berganti pakaian, lantas menggelar sajadah di atas bale-bale sembari merasakan terpaan angin laut. Sepoi, mendekap luruh
di setiap gerakan sholat hingga akhir. Kemudian lanjut menikmati penganan bekal.
Menyingkirkan rasa lapar kami setelah snorkeling.
Selama
proses memasak pagi tadi, Kak Ira selaku tuan rumah bersama mamanya sibuk menari-nari
di dapur. Menyediakan keperluan masak memasak. Kyna bertugas membersihkan
cumi-cumi yang sedari tadi menggiurkan kami ketika berkeliling di Pasar Sinjai.
Sementara saya mengupas dan mengulek
rempah-rempah sampai mata merah nyaris menangis karena bawang merah. Hasil
masakan yang berhasil diolah adalah ayam
lalapan, tumis cumi, telur rebus dan mie goreng. Chef andalan kami yang berhasil mengolah hidangan aduhai tersebut
adalah perempuan keibuan yang over ceria.
Kak Ika. Sementara tukang cicip paling top dalam hal mengomentari cita rasa
masakan adalah lelaki independen berwajah oriental yang tak asing lagi. Kak
Alif.
Alhamdulillah,
jengah telah lindap di sapu gemuruh air laut. Rasa lapar pun telah lenyap oleh hidangan
yang luar biasa nikmat. Setelah piring kami licin tandas, rantang perbekalan
dan tas jinjing segera kami amankan masing-masing. Kami memutuskan untuk
kembali menuju mobil. Membawa kembali tas jinjingan lantas meninggalkan jejak
kaki kami di pasir putih bak tepung itu.
Mesin
mobil berderum nyaring menyusuri jalanan berpasir yang kami susuri sebelumnya ketika
datang, lantas berbelok. Memilih singgah terlebih dahulu sebelum melanjutkan
perjalanan ke Maros di salah satu spot,
yang lebih sepi dan eksklusif. Setelah mobil terparkir di area yang bertuliskan
Bira Driver’s di kayu yang berbentuk panah dengan tinggi kira-kira satu
setengah meter, kami segera berhambur ke luar mobil. Memilah milih beragam
bentuk souvenir sesuai selera. Masyarakat di pesisir Tanjung Bira
sangat kreatif dalam memanfaatkan kerang dari laut menjadi benda yang lebih
bernilai ekonomis.
Setelah
memilih cendramata yang pass dan cocok di pergelangan tangan kami
masing-masing, yang di jual oleh seorang gadis bermata sayu berwajah pasif yang
nampaknya susah untuk sekedar tersenyum. Kami lantas mengayun langkah dengan manja.
Naik ke atas spot teras berubin yang
posisinya lebih tinggi dari dasar laut. Ada beberapa muda-mudi disitu, yang
sepertinya adalah warga sekitar yang nimbrung menikmati panorama sunset khas Pantai Bira.
Kami
bergeming rileks, berdiri beriringan menatap sunset yang nampak merah kemegah-megahan. Membawa keawang-awang
kita dalam keindahan tiada batas sesaat menjelang matahari terbenam. Sensasi sunsentnya dipadu terpaan angin laut
yang menampar gemulai terasa bersenyawa dengan kesenyapan alami nan tentram. Dalam
kesenyapan memandang senja nan indah, saya lantas mengakhiri sensasi piknik
dadakan ini dengan menarik benang merah. Bahwa segenap kemolekan yang di
suguhkan Tanjung Bira, dan pulau-pulau di sekelilingnya pun masih ada spot yang memang perlu dibenahi. Terutama
masalah sampah yang mesti menjadi perhatian pengelola wisata Bira. Tentu bekerja
sama dengan warga yang bermukim disekitarnya. Toh sebagai wujud kepedulian kita
untuk menjaga dan terus merawat dengan penuh kesadaran diri, terhadap objek
wisata yang begitu memukau, sebagaimana telah Tuhan ciptakan nyaris tampa cela.
Saya
berharap, semoga Tanjung Bira terus berbenah dan mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Terus berinovasi, agar dapat menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang
ada di Indonesia. Diminati baik di mata pelancong pribumi maupun mancanegara
secara luas. Semoga.





Tidak ada komentar:
Posting Komentar