suara iqamah yang engkau dengungkan
di telinga kiriku. Aku pernah engkau peluk dan di aliri rasa kasih sayang
seperti air yang mengalir terus menerus dan menjadi sumber kehidupan. Yah, engkau berjuang menafkahi keluargamu. Dan aku, menjadi semangat hidupmu untuk terus bekerja.
***
Bapak, aku masih ingat saat usiaku
masih berusia empat tahun. Sekitar
tahun 1998. Bapak mengajakku ke salah satu tempat foto studio yang ada di kota
Wamena. Bapak ingin aku berfose di depan camera, agar kelak jika tumbuh dan dewasa aku dapat memandangi foto
itu sekaligus mengenang kehangatan yang pernah engkau torehkan. Heheee. Aku sangat
lucu di foto itu.Terlihat polos dengan mengenakan baju gantung levies berwarna
biru dan balutan topi rajutan berwarna pink yang melekat manis di kepala botakku.
Aku sangat senang mengenakan topi rajutan itu. Kata mama, topi itu bapak
belikan pada saat kapal feri yang kita
tumpangi dari Makassar singgah di kota Buton. Aku sedih pak, topi kesayanganku
itu tak sampai sekarang bersamaku, sedihnya lagi foto itu antah berantah dimana
kini. Seingatku, kedua barang yang memiliki kenangan itu tertinggal di salah
satu rumah yang pernah kita tinggali. Maklum
saja, saat di tanah rantau kita sering berpindah pindah rumah.!!
Pak, aku
masih ingin melanjutkan kisah saat mengajakku ke tempat studio. Oh ya pak, waktu
itu kita ke foto studio dengan mengendarai sepeda, hahahaa. Kalau aku punya
topi rajutan kesayangan, nah sepeda buntut itulah benda kesayangan bapak. Aku senaannggg sekalli
kalau bapak memboncengku, sangking senangnya aku sempat terjepit di trali
sepeda buntut bapak. Aku menangis kala itu, bagaimana tidak kakiku yang kecil
menjadi bengkak dan membiru..Saakittt sekaliii. !! Imbasnya, mama jadi repot gendong
aku selama sebulan karena aku sulit untuk berjalan.
Pak, aku
rindu saat bersamamu. Ingin aku
kembali di masa itu. Agar saat itu aku lebih hati hati dan ngak bodoh
memasukkan kaki di trali sepeda bapak. Supaya bapak ngak khawatir, ngak sampai
repot repot bawa aku ke puskesmas. Agar
mama juga ngak kecapean menggendongku selama sebulan. Akhh… Andai dan andai.
Tapi, tampa semua itu tak akan menjadi kenangan indah yang menggelitik. Oh
tidak, aku tak menyesali kejadian itu. Karena aku jadi tau betapa bapak dan
mama menyayangiku.
Seiring berjalannya waktu, bukan aku
satu satunya anakmu. Aku punya adik yang menjadi teman bermainku. Menjadi bagian
dari keluarga kecil kita. Saat bersama adik nomer dua, hidupku
sangatt bahagia karena kita hidup sederhana kala itu. Rezky
Allah juga terus
mengalir. Bapak selalu mendapatkan pekerjaan. Walaupun
hanya seorang tukang bangunan borongan, tapi penghasilan bapak lumayan. Bapak harus menepuh perjalanan berkilo kilo
meter, karena tempat kerja
bapak jauh. Namun, bapak tempuh dengan semangat terus memacu pada pedal sepeda buntut
bapakk. Hingga bertambahnya anggota keluarga kita, aku pun menjadi anak sulung
dari empat bersaudara. Tanggung jawab bapak kian bertambah, disela usia SD ku,
aku jadi lebih sensitif. Aku sering
membantah bapak dan aku merasa kasih sayang bapak padaku mulai terbagi bahkan
berkurang karena kehadiran adik adikku. Bapak juga jadi sering marah marah.
Salah sedikit dan bikin adik nangis saja, bapak marah bahkan aku dipukulii. Akhhh… jadi
ingat pas aku pulang les, sore itu hujan turunn derasss sekaliii. Aku menunggu
bapak menjemputku heehee bukan dengan sepeda buntut lagi loh, tapi sudah
bermetamorfosa menjadi sebuah motor. Namun
tak urung jua bapak datang untuk menjemputku. Terpaksa aku pulang hujan hujan
takut kemalaman. Aku sempatt berfikir negative sama bapak tapi sesampainya aku
di rumah ternyata bapak sakitt. Aku menyesal telah salah sangka padamu
pak..Maafkan anakmu yang nakal ini.L
Hal yang paling menyedihkan adalah
saat aku harus berpisah dengan bapak. Setelah tammat SD, mama membawaku pulang
ke Makassar. Kampung orang tuaku. Sedih rasanya harus meniggalkan tanah Papua
yang aku banggakan karena aku besar disana dan aku tau bapak dan mama begitu mencintai
Kota Wamena. Disanalah bapak dan mama menemukan banyak keluarga baru. Berasal
dari banyak suku, ras dan agama. Dan mereka adalah sahabat senasib dan
sepenanggungan.
Tanggal
23 Februari 2008 adalah puncak cobaan
hidup yang ditimpakan oleh Allah kepada keluargaku. Astagfirullah Ya Rabb!!!!
Lengkingan suara tangis pagi itu menguras urat leherku. Kabar buruk yang seolah
menghentikan desiran darahku. Alam seolah gelap memaut rasa mencekam hatiku yang tengah dilanda rindu yang maha
dahsyat! Oh Tuhan hari itu aku masih menunggu kepulangan keluarga tercinta yang
masih di tanah rantau. Bapak yang telah menyarankan bersama adik nomer dua untuk
pulang ke kampung halaman dan tinggal di rumah nenek. Tapi kini, apa yang harus
kulakukan? Menangisi jasadnya itu tak mungkin karena jasadnya tak terlihat
olehku. Innalillah. Kabar
dari mamaku mengatakan beliau telah berpulang ke Rahmatulllah ba’da shalat
shubuh di Rumah Sakit Umum Wamena karena penyakit Liver menyerangnya. Hari itu
mayatnya akan dipulangkan. Peti mayat telah tersedia di sana. Tapi, kata mama keluarga
Kerukunan KKMP tak menyetujui hal itu. Mayat harus diformalinkan karena singgah
di Jayapura. Astagfirullah! Ba’da dhuhur
akhirnya mayat beliau disemayamkan di Pekuburan Sinakma. Ya, bapak terlalu
mencintai tanah rantau, hingga akhirnya jasad
bapak pun terkubur di tanah rantau. Berpisah selama tujuh bulan, ternyata
berlanjut untuk berpisah dengan bapak tuk selama lamanya.
Akhhh… Sedih, air mataku tak dapat kubendung.
Pasrah
dalam kenyataan hidup yang memilukan. Dalam usia 13 tahun, aku harus menerima kenyataan itu.
Bapak Semoga tenang di alam sana. Hanya doa yang
selalu ku haturkan setiap kali aku mengingatmu. Tangisku tak
dapat kubendung pak, perih sukmaku bertabur rinduku padamu. Aku rindu tanah
rantau. Meski hidup kita di sana tak berada tapi aku bahagia. Namun aku jua bahagia
pak, tau bahwa engkau meninggal dengan keadaan khusnul khotimah. Lantas dimana
janji bapak? Katanya mau menjemputku dan kita tinggal sama-sama lagi di Wamena
karena kerabat terdekat di sana merindukanku. Katanya mau aku di sekolahkan SMP
di sana. Katanya aku akan membantu mama mengajar di TPA kita lagi, katanya, katanya.
Akhhhh Musnah sudah!! Lenyap bersama rindu dan penantian yang harus kukubur
dalam-dalam.
Menanti
kedatangan mama dan adik-adik adalah penantian yang tak sia-sia. Dengan
berlumuran air mata, ikhtiar dan do’a yang kami munajatkan setiap siang dan
malam, Allah membukakan jalan. Meski pelik, terjuallah rumah dan kasih sayang
kerabat terdekat di sana telah menguatkan mama tercinta untuk bangkit dan
pulang ke kampung. Ma, aku mencintaimu!
Hari-harimu kau habiskan dengan perjuangan hidup menjanda dan do’a yang
tak putus-putusnya untuk anak-anakmu. Meski kedatanganmu kembali ke sini waktu
itu membawa luka. Disambut cibiran dari
keluarga bapak yang hanya menyalahkan dirimu atas cobaan itu. Seolah engkau yang menyebabkan takdir itu
terjadi. Engkau hanya menangis mengadu kepadaku saat mereka menfitnahmu dengan
kalimat biadab yang menguras hati. Perih. Tapi, engkau bangkit dan kau buktikan
pada mereka bahwa engkau dapat bertahan bak karang di lautan. “I love, mom.” Mama berjuang hingga mama buatkan gubuk
untuk kami anak-anakmu yang menurutku adalah istana. Alangkah lengkap
kebahagiaanku bila masih ada kasih sayang
bapak di sini.
Pak, InsyaAllah aku ingin menziarahi makammu.
Mencium batu nisan di pusaramu karena aku tak bisa mencium untuk terakhir kali
jidadmu saat hari terakhir engkau disemayamkan di rumah kita. Atau aku meledakkan
tangis ku yang perih karena telah memendam rindu sebegitu lamanya. Nanti…. Ya jika umurku masih diperkenankan untuk
menziarahimu. Disaat aku telah dewasa, telah berkarir dan tidak menyusahkan mama lagi, atau datang bersama
mama dan adik-adik. Atau disaat aku telah berumah tangga dan menggendong anakku. Datang bersama suamiku tercinta. Aku tak tau
bapak, semoga Allah membukakan jalan karena itu do’aku.
Banyak
hal yang tak habis untuk ku ceritakan tentang kenangan kita saat bersama pak. Teriring
salam manisku untuk bapak. Aku mau bilang sekali lagi bahwa aku sangat senaaang setiap bapak memboncengku dengan sepeda
buntut itu. Sekarang pun tentu aku masih sangat senang jika bapak ingin memboncengku
seperti masa kecilku.Tapi, itu tak mungkin. Terimakasih ya pak, atas kasih
sayang bapak selama ini. Bahkan aku tak pernah mengucapkan kata
terimakasih atas topi rajutan itu. Sampai skenario Tuhan memisahkan kita, dan
takdirku tak dapat melihat jasad terakhir bapak yang kian renta.
Semoga di kesempatan umurku, aku diperkenankan oleh Allah tuk berada disana, melihat
dan mencium batu nisanmu. Bapak, betapa aku merindukanmu
.-_________-


Tidak ada komentar:
Posting Komentar