Sabtu, 28 Juni 2014

Kenangan Bersepeda Bersama Bapak.



Tentang bapak. !! Aku memanggilmu dengan kata bapak. Aku lahir dengan dekapan dan
suara iqamah yang engkau dengungkan di telinga kiriku. Aku pernah engkau peluk dan di aliri rasa kasih sayang seperti air yang mengalir terus menerus dan menjadi sumber kehidupan. Yah, engkau berjuang menafkahi keluargamu. Dan aku, menjadi semangat hidupmu untuk terus bekerja.
***
Bapak, aku masih ingat saat usiaku masih berusia  empat tahun. Sekitar tahun 1998. Bapak mengajakku ke salah satu tempat foto studio yang ada di kota Wamena. Bapak ingin aku berfose di depan camera, agar kelak jika  tumbuh dan dewasa aku dapat memandangi foto itu sekaligus mengenang kehangatan yang pernah engkau torehkan.  Heheee. Aku sangat lucu di foto itu.Terlihat polos dengan mengenakan baju gantung levies berwarna biru  dan  balutan topi rajutan berwarna pink yang  melekat manis di kepala botakku. Aku sangat senang mengenakan topi rajutan itu. Kata mama, topi itu bapak belikan pada saat kapal feri  yang kita tumpangi dari Makassar singgah di kota Buton. Aku sedih pak, topi kesayanganku itu tak sampai sekarang bersamaku, sedihnya lagi foto itu antah berantah dimana kini. Seingatku, kedua barang yang memiliki kenangan itu tertinggal di salah satu rumah yang pernah kita tinggali. Maklum saja, saat di tanah rantau kita sering berpindah pindah rumah.!!
Pak, aku masih ingin melanjutkan kisah saat  mengajakku ke tempat studio. Oh ya pak, waktu itu kita ke foto studio dengan mengendarai sepeda, hahahaa. Kalau aku punya topi rajutan kesayangan, nah sepeda buntut itulah benda  kesayangan bapak. Aku senaannggg sekalli kalau bapak memboncengku, sangking senangnya aku sempat terjepit di trali sepeda buntut bapak. Aku menangis kala itu, bagaimana tidak kakiku yang kecil menjadi bengkak dan membiru..Saakittt sekaliii. !! Imbasnya, mama jadi repot gendong aku selama sebulan karena aku sulit untuk berjalan.
Pak, aku rindu saat bersamamu. Ingin aku kembali di masa itu. Agar saat itu aku lebih hati hati dan ngak bodoh memasukkan kaki di trali sepeda bapak. Supaya bapak ngak khawatir, ngak sampai repot repot bawa aku ke puskesmas. Agar mama juga ngak kecapean menggendongku selama sebulan. Akhh… Andai dan andai. Tapi, tampa semua itu tak akan menjadi kenangan indah yang menggelitik. Oh tidak, aku tak menyesali kejadian itu. Karena aku jadi tau betapa bapak dan mama menyayangiku.
Seiring berjalannya waktu, bukan aku satu satunya anakmu. Aku punya adik yang menjadi teman bermainku. Menjadi bagian dari keluarga kecil kita. Saat bersama adik nomer dua, hidupku sangatt bahagia karena kita hidup sederhana kala itu. Rezky Allah juga terus mengalir. Bapak selalu mendapatkan pekerjaan. Walaupun hanya seorang tukang bangunan borongan, tapi penghasilan bapak lumayan. Bapak harus menepuh perjalanan berkilo kilo meter, karena tempat kerja bapak jauh. Namun, bapak tempuh dengan semangat terus memacu pada pedal sepeda buntut bapakk. Hingga bertambahnya anggota keluarga kita, aku pun menjadi anak sulung dari empat bersaudara. Tanggung jawab bapak kian bertambah, disela usia SD ku, aku jadi lebih sensitif. Aku sering membantah bapak dan aku merasa kasih sayang bapak padaku mulai terbagi bahkan berkurang karena kehadiran adik adikku. Bapak juga jadi sering marah marah. Salah sedikit dan bikin adik nangis saja,  bapak marah bahkan aku dipukulii. Akhhh… jadi ingat pas aku pulang les, sore itu hujan turunn derasss sekaliii. Aku menunggu bapak menjemputku heehee bukan dengan sepeda buntut lagi loh, tapi sudah bermetamorfosa menjadi sebuah motor. Namun tak urung jua bapak datang untuk menjemputku. Terpaksa aku pulang hujan hujan takut kemalaman. Aku sempatt berfikir negative sama bapak tapi sesampainya aku di rumah ternyata bapak sakitt. Aku menyesal telah salah sangka padamu pak..Maafkan anakmu yang nakal ini.L
Hal yang paling menyedihkan adalah saat aku harus berpisah dengan bapak. Setelah tammat SD, mama membawaku pulang ke Makassar. Kampung orang tuaku. Sedih rasanya harus meniggalkan tanah Papua yang aku banggakan karena aku besar disana dan aku tau bapak dan mama begitu mencintai Kota Wamena. Disanalah bapak dan mama  menemukan banyak keluarga baru. Berasal dari banyak suku, ras dan agama. Dan mereka adalah sahabat senasib dan sepenanggungan.
Tanggal 23 Februari  2008 adalah puncak cobaan hidup yang ditimpakan oleh Allah kepada keluargaku. Astagfirullah Ya Rabb!!!! Lengkingan suara tangis pagi itu menguras urat leherku. Kabar buruk yang seolah menghentikan desiran darahku. Alam seolah gelap memaut rasa mencekam  hatiku yang tengah dilanda rindu yang maha dahsyat! Oh Tuhan hari itu aku masih menunggu kepulangan keluarga tercinta yang masih di tanah rantau. Bapak yang telah menyarankan bersama adik nomer dua untuk pulang ke kampung halaman dan tinggal di rumah nenek. Tapi kini, apa yang harus kulakukan? Menangisi jasadnya itu tak mungkin karena jasadnya tak terlihat olehku. Innalillah. Kabar dari mamaku mengatakan beliau telah berpulang ke Rahmatulllah ba’da shalat shubuh di Rumah Sakit Umum Wamena karena penyakit Liver menyerangnya. Hari itu mayatnya akan dipulangkan. Peti mayat telah tersedia di sana.  Tapi, kata mama keluarga Kerukunan KKMP tak menyetujui hal itu. Mayat harus diformalinkan karena singgah di Jayapura. Astagfirullah! Ba’da dhuhur akhirnya mayat beliau disemayamkan di Pekuburan Sinakma. Ya, bapak terlalu mencintai tanah rantau, hingga akhirnya jasad bapak pun terkubur di tanah rantau. Berpisah selama tujuh bulan, ternyata berlanjut untuk berpisah dengan bapak tuk selama lamanya. Akhhh… Sedih, air mataku tak dapat kubendung.
Pasrah dalam kenyataan hidup yang memilukan. Dalam usia 13 tahun, aku harus menerima kenyataan itu. Bapak Semoga tenang di alam sana. Hanya doa yang selalu ku haturkan setiap kali aku mengingatmu. Tangisku tak dapat kubendung pak, perih sukmaku bertabur rinduku padamu. Aku rindu tanah rantau. Meski hidup kita di sana tak berada tapi aku bahagia. Namun aku jua bahagia pak, tau bahwa engkau meninggal dengan keadaan khusnul khotimah. Lantas dimana janji bapak? Katanya mau menjemputku dan kita tinggal sama-sama lagi di Wamena karena kerabat terdekat di sana merindukanku. Katanya mau aku di sekolahkan SMP di sana. Katanya aku akan membantu mama mengajar di TPA kita lagi, katanya, katanya. Akhhhh Musnah sudah!! Lenyap bersama rindu dan penantian yang harus kukubur dalam-dalam.
Menanti kedatangan mama dan adik-adik adalah penantian yang tak sia-sia. Dengan berlumuran air mata, ikhtiar dan do’a yang kami munajatkan setiap siang dan malam, Allah membukakan jalan. Meski pelik, terjuallah rumah dan kasih sayang kerabat terdekat di sana telah menguatkan mama tercinta untuk bangkit dan pulang ke kampung. Ma, aku mencintaimu!  Hari-harimu kau habiskan dengan perjuangan hidup menjanda dan do’a yang tak putus-putusnya untuk anak-anakmu. Meski kedatanganmu kembali ke sini waktu itu membawa luka. Disambut cibiran dari keluarga bapak yang hanya menyalahkan dirimu atas cobaan itu. Seolah engkau yang menyebabkan takdir itu terjadi. Engkau hanya menangis mengadu kepadaku saat mereka menfitnahmu dengan kalimat biadab yang menguras hati. Perih. Tapi, engkau bangkit dan kau buktikan pada mereka bahwa engkau dapat bertahan bak karang di lautan.  “I love, mom. Mama berjuang hingga mama buatkan gubuk untuk kami anak-anakmu yang menurutku adalah istana. Alangkah lengkap kebahagiaanku bila masih ada kasih sayang bapak di sini.
Pak, InsyaAllah aku ingin menziarahi makammu. Mencium batu nisan di pusaramu karena aku tak bisa mencium untuk terakhir kali jidadmu saat hari terakhir engkau disemayamkan di rumah kita. Atau aku meledakkan tangis ku yang perih karena telah memendam rindu sebegitu lamanya. Nanti…. Ya jika umurku masih diperkenankan untuk menziarahimu. Disaat aku telah dewasa, telah berkarir dan tidak  menyusahkan mama lagi, atau datang bersama mama dan adik-adik. Atau disaat aku telah berumah tangga dan menggendong anakku. Datang bersama suamiku tercinta. Aku tak tau bapak, semoga Allah membukakan jalan karena itu do’aku.
Banyak hal yang tak habis untuk ku ceritakan tentang kenangan kita saat bersama pak. Teriring salam manisku untuk bapak. Aku mau bilang sekali lagi bahwa aku sangat senaaang setiap bapak memboncengku dengan sepeda buntut itu. Sekarang pun tentu aku masih sangat senang jika bapak ingin memboncengku seperti masa kecilku.Tapi, itu tak mungkin. Terimakasih ya pak, atas kasih sayang bapak selama ini. Bahkan aku tak pernah mengucapkan kata terimakasih atas topi rajutan itu. Sampai skenario Tuhan memisahkan kita, dan takdirku tak dapat melihat jasad terakhir bapak yang kian renta. Semoga di kesempatan umurku, aku diperkenankan oleh Allah tuk berada disana, melihat dan mencium batu nisanmu. Bapak, betapa aku merindukanmu
.-_________-


 Nanda Rahm@, 
14-11-13  11;00Am
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar