Kamis, 10 Juli 2014

Karena Itu Pilihanku

                  


Saat bulir bening itu luruh, saat aku merasa tak riskan siapa
yang aku salahkan???? Bahkan saat lengah pun hanya TUHAN yang tau apa sekelumit yang mendera  hatiku.!! 
*** 
Tangisku pecah, menerobos dinding pertahananku yang sejauh ini kubangun demi sebuah komitmen yang telah menjadi pilihan, yang telah menjadi keputusan mutlak untuk perubahan dan masa depanku.!! Pro kontra hati yang membentuk gejolak batin tak mampu untuk ku tepiss saat ini. Gundukan beban psikologis membelenggu nalarku. Nuansa, suasana dan keadaan memang berbeda. Saat awal ku langkahkan kakiku di kampus, ada sebersit tanya dan sekelumit harapan akan perubahan dan hal menyenangkan apa yang akan ku peroleh. Hal-hal baru dan semangatt baruu. Itu harapkuu.

Tertegun saat melihat hal hal baru itu, memang tak biasa seperti yang kulalui tapi aku perlu beradaptasii. Bukankah aku punya sekelumit harapann ???? Pangling, tak riskan saat banyak berseliweran wanita wanita dengan rambut urai nan indah, rambut pirang malah. Gimana ngak riskan, Semenjak SD sampai tammat Aliyah aku bersekolah di naungan madrasah yang mewajibkan di lingkungan sekolah untuk berjilbab, tapi bertolak belakang suasana beraneka ragam stylis yang ku cermati semenjak hari pertama test di kampus itu. Maklum dan wajarr, ini jenjang perkuliahan.Sekali lagi kutekankan pada hati kecilku bahwa semua butuhproses adaptasii, bukan sesuatu yang susah bukann ?? Why not, aku berusaha enjoy.
           
Teman baruku di hari kedua adalah seorang yang bernama Asty’ cewe’ dengan tinggi badan yang sama denganku 145 cm hehee. Perawakan yang ramah, kulit sawo matang dengan binar mata yang sayu tapi ekspresif. Itu tercermin dari cara ia meresponku saat aku menyambanginya pertama kali di teras bawah kampus empat lantai itu. Respon positifnya padaku megantarkan perkenalan kita dengan keakraban yang kian cair. 

Walhasil, kami saling share tentang keputusan kami untuk lanjut di Sekolah tinggi ilmu manajemen akreditasi B yang kami pijaki saat itu. Kami tertawa cekikikan merasa lucu sendiri saat membahas berita di Fajar semalam yang melibatkan kami, because kami jadi objek beritanya. Bukan hanya itu saja, perkenalan yang biasa di kemas dengan pertanyaan lumrah pun beralih mengarah ke hal pribadii bahkan.!!  Sedikit naïf memang, hanya saja semuanya mengalir begitu saja sehingga tak membuat kita sungkan untuk saling blak-blakan. 

Hingga tiba masa PMB, dan ospek. Banyak hal yang menyeruak dan memberi konsep suasana di dalam hatiku. Memakai pakaian hitam putih seperti Maba di YAPIM Maros, membuatku kembali mengingat kedua sahabatku. Ifa dan Hajrah. Tak bersama mereka lagi untuk jenjang perkuliahan ini, membuat yang lain pun bertanya-tanya mengapaa ?? Keakraban kami selama ini seolah menjadi pilar yang sulit untuk dipisahkan. Tapi kenyataan berkata lain. Saat aku memilih untuk lanjut di STIM LPI, kampus yang tak pernah sebersit pun kubayangkan akan ku pijaki seperti kala ini. Selama ini, merekalah sahabat yang bisa mengerti dan menerima kekuranganku. 

Bahkan, keluarga Hajrah sudah seperti keluargaku sendiri. Suka duka kita alami bersama, seolah tampa sekat kami tunjukkan keakraban dan kekompakan kami. Aku sempat merasa ngak enak kepada kakak sepupu Hajrah yang royal dan baik hati itu. Ia yang pada awalnya menginginkan kami bertiga untuk tetap lanjut di tempat yang sama. Bahkan ia yang akan mengurus formulir dan pembayaran awal untuk kami. Tapi, keputusanku untuk lanjut di STIM LPI sudah bulat. Saat kakak sepupu Hajrah yang biasa dipanggil Bu Desa itu menelvonku, saat itu ia ingin memperjelas keputusanku sebelum ia pergi untuk mengurus formulir di YAPIM. 

Dengan kerendahan hati aku meminta maaf karena pilihanku jatuh di STIM. Dan pada saat itu aku sendiri sedang berada di kantor desa untuk mengurus keterangan kurang mampu. Surat itu, kuurus sebagai salah satu berkas yang harus segera kurampungkan agar aku bisa mendapatkan beasiswa bidik misi. Kuakui, program beasiswa itulah yang menjadi salah satu yang mengiming imingku untuk lanjut di Kampus yang masih asing bagiku. Selain itu, karena ada suami Ibu’ Hasma selaku dosen di STIM yang merekomendasikan aku untuk mendapat beasiswa.

Hal yang patut kusyukuri betapa ibu’ Hasma dan Pak Ryan menggantungkan harapan agar aku dapat lanjutt karena mereka tau bahwa finansial keluargaku tak begitu makmur. Mereka mengerti serta mengupayakan agar namaku dapat terdaftar di dikti menjadi salah satu mahasisiwi yang mendapat beasiswa bidik misi. Proses pengurusan berkasnya yang cukup lama, dan melelahkan. Tapi, harapku penantian dan usaha yang melelahkan itu berbuah hasil. Aku masih menanti hingga waktunya beasiswa itu cair. Hingga waktunya aku belajar untuk mandiri dan tak lagi diberi uang saku oleh Mama. Hingga waktunya pun aku belajar untuk  memeneg keuangan sendiri, bukankah aku anak management ?? 

Namun, sebenarnya dari hati kecilku aku sendiri terkadang dijerat oleh perasaan sedih, dilema bahkan rasa bimbang yang tak berkesudahan. Disudut hati yang mengundang pilu pun tak sungkan mengundang bola bening yang membuatku berada pada titik rapuh. Berulang kali mama melihatku menangis, saat ditanya mengapa, aku sendiri tak mampu menjelaskan. Jika kujelaskan pun hanya ada untaian kata yang terbata-bata. 

Terkadang aku hanya tak ingin keakrabanku bersama kedua sahabatku yang telah kita bangun semenjak bangku Mts, menjadi goyah karena kesibukan dan jalur yang berbeda. Jika bertemu dengan bapak ibu guru pun aku merasakan kerinduan pada mereka karena aku pun tau, bahwa keberadaanku untuk tetap berkecimpung di Madrasah yang pernah mereka harapkan. Karena aku pernah diminta untuk mengajar dan masuk jurusan guru di YAPIM. Ataukah saat terngiang kembali pesan ibu Chaeriah, guru bidang study Bahasa Indonesia yang penuh kasih sayang itu.

Ibu guru yang dengan pelukan eratnya memelukku saat pengumuman karena melihat hasil nilai Bahasa Indonesiaku yang tertinggi. Saat itu pula kurasakan betapa engkau bangga padaku bu’ dan pelukan  teriring  tangis kita yang pecah itu masih kurasakan. Ya, tangis bahagia dan haru atas kelulusan kami. Saat itu pula kembali dikau bisikkan di telingaku agar aku mengambil jurusan Bahasa. Aku sempat merasa bersalah, karena pesanmu tak aku indahkan, karena aku memilih jurusan management. 

 Aku takut engkau kecewa, aku takut engkau tak seramah dulu. Tapi ternyata tidakk, saat aku berkunjung ke Madrasah untuk mengambil ijasah aku bertemu dengan ibu guru yang kurindukan tawa dan perhatian tulusnya kepada siswa siswinya. Ia tersenyum padaku dan kembali memelukku seperti dulu, ada air yang menyeruak di sudut mataku, aku terharu, rasanya tangisku kian menjadi. Ada pro dan kontra atas pilihanku, ku kira mereka akan bersikap dingin padaku. Tapi jauh di luar dugaanku, bapak ibu guru begitu ramah  bahkan memberi selamat atas predikatku sebagai MABA terbaik di kampusku. Alhamdulilllah mereka memberi support.:)
          
 Hal yang patut aku syukuri adalah Begitu ALLAH Mencintaiku melalui mereka yang menyayangi dan peduli denganku, yakni begitu banyak yang mengharapakn yang terbaik untukku. !!

Saat ini aku belajar untuk mencintaii apa yang menjadi pilihanku. Belajar untuk bertahan kuat dalam proses meskipun terkadang aku berkutat pada keharusanku untuk menjalani namun membawaku pada titik jenuh dan kembali down. Bahkan menangis saat lelah dan saat aku ingin memilih yang lain. Seolah merasa ingin tetap di Maros saja. Karena Maros menjadi tempat yang kusadari begitu kucintai, Maros adalah panorama terindah dari tempat manapun yang pernah kujumpai dan aku juga mencintaai orang orang Maros. 

Tapi, aku harus berkembang, harus mampu menata masa depan melalui berbagai suasana baru dan terjalnya persaingan di luar sana. Ini baru sebatas Makassar, belum berarti apa-apa. Aku harus tetap bersyukur, berkat beasiswa bidik misi itulah aku bisa lanjut kuliah. Aku tak perlu belajar untuk menjadi orang yang berhasil, tapi aku hanya butuh mencoba menghadapi terjal itu. Karena dari mencobalah itu kita belajar untuk mencapai keberhasilan. {"___"}

*Curhat Kecolongan. Curhat pada diri sendiri.  Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar