Ataukah kita masih saja setia
mengutuk ngutuk gundah.?
***
“Kak, saya pamit yah.” Ujar Afira pelan. Yang
dibangunkan membuka mata lamat-lamat. Lalu mengucek ngucek pelupuk maatnya yang
masih dirundung kantuk. .
“Oh iya dek. Hmm..Dek Afira uda mau pulang?”
“Iya kak. Terimakasih tumpangannya yah kak.”
“Siip...besok besok mampir ke kost kk’ lagi yah. Jangan sungkan.”
“Oh iya kak, terimakasih”
“Hhaaaha,,iya dek sama sama. Hati hati yah.”
“Ok. Assalamualaikum” Seraya membuka kamar kost perlahan.
“Ok. Assalamualaikum” Seraya membuka kamar kost perlahan.
“Waalaikumsalam” Balas
kak Imma parau. Mungkin karena kurang tidur. Lalu kemudian melanjutkan tidunya dengan pulas. Pagi itu kak Imma sangat mengantuk. Semalam Afira telah menyiksanya dengan
bersungut sungut meminta menahan kantuk
berjam-jam. Afira sangat ingin
menyaksikan penutupan MIWF di Benteng Roterdam hingga usai. Imbasnya, mata
panda pun tercipta. Kantong mata mendadak berat dan menghitam.
Afira menuju parkiran
motor. Pintu pagar sudah terbuka, nampak motor-motor masih terparkir rapi
dengan anggunnya. Mungkin karena hari ahad. Tak ada jam kuliah atau bagaimana,
entahlah. Penghuni di kost itu mungkin masih sarapan atau di sibukkan dengan
rutinitas pagi yang lumrah. Afira menengok jam pada hpnya, pukul 07:00.
Mentari pagi sudah
bersemangat memamerkan sinarnya. Akhh...saatnya pulang. Ujar Afira seraya
menghidupkan mesin motornya. Suara motor pun nyaring berdesing, lalu
mengendalikan gas dan rem. Meninggalkan tempat dan kemudian menyusuri jalanan
yang sedikit berbatu. Tak ada aspal. Sekitar 15 meter dari kost kak Imma baru kemudian menemui aspal yang merupakan area UNHAS.
Pandangan menyapu keadaan sekitar. Jalanan nampak begitu ramai, ada perhelatan jalan santai rupanya. Jalan santai dalam rangka apa pun tak sempat terfikirkan oleh Afira. Pesertanya banyak, berhasil membentuk barisan yang lumayan panjang. Mereka mengenakan kaus berwarna putih dan ditaburi bercak pewarna merah. Mirip tradisi festival Holi di film India.
Afira melanjutkan perjalanan, menyusuri jalanan area Unhas yang teduh dan rindang. Menyusuri jalur berlawanan yang tidak dilintasi oleh peserta jalan santai. Terlalu ramai, dan berhasil menyita perhatian Afira.
Pandangan yang tak lagi fokus ke depan.
Jelalatan. Dan “Bruukkkkk..!!” Ada suara yang menjanggal, disusul suara tangis
anak kecil yang histeris. Afira tercekat. Rem mendadak sontak di lakukannya.
Seiring tubuhnya terjengkang, darahnya berdesir deras. Jantung yang berdegup
kencang tak karuan. Blengg.
Seorang Ibu meraung, juga tak kalah histeris. Ia terduduk, kedua tangannya menutup wajahnya. Seolah tak sanggup melihat insiden itu di depan matanya. Peserta yang melintas mengarahkan pandangan ke arah Afira. Keluh. Afira memarkir motor begitu saja, sembarangan. Tak perduli.
Nampak seorang lelaki
membantu memarkir motor Afira ke pinggir jalan, supaya tak menghalangi
kendaraan lain yang lewat. Afira berlari kecil dengan raut wajah pucat pasi
meraih anak kecil itu yang sudah tertelungkup. “maafkan kakak dek.!!” Ujar
Afira tersendat. Meraih, membantunya berdiri dari situasi yang memilukan itu.
Anak kecil yang nyaris mencium aspal.
Sang ibu yang menangis
histeris tak kalah paniknya memeluk sang anak. Ada benjolan di kepala dan lecet
di atas mulut. Berdarah. Dua bocah yang merupakan saudara anak itu nampak
prihatin melihat kondisi saudaranya. Sang ibu yang memakai jilbab sedada itu
tak perduli. Tak merespon permohonan maaf Afira.
Insiden itu menyita perhatian sekitar dalam seketika. Sebagian peserta jalan santai sontak mengerubungi. Salah satu dari mereka mengarahkan sang ibu untuk membawa anaknya ke mobil bercat merah yang terparkir di sebelah jalan tak jauh dari situ. Ada tim PMI disana. Ibu itu benar-benar tak perduli dengan permohonan maaf Afira. Ia lebih memilih segera membawa anaknya untuk segera di beri pertolongan.
Afira menyusul,
seketika ia mengingat sesuatu. Akh.... Ia berbalik menuju motornya, namun
seorang peserta jalan santai yang simpati memberikan kunci motor dengan
gantungan bunaken. Afira meraih kunci itu dengan bernafas lega.
Mungkin karena sedang
dirasuki panik stadium akut, Afira lupa mengucapkan kalimat sederhana yang
biasa di ucapkannya. Yakni lupa mengucapkan kata terimakasih kepada wanita yang
telah menyelamatkan kunci motornya. Ia terlalu terburu buru berlari menyusul
ibu itu.
Anak malang yang berada
di dekapan sang ibu masih saja menangis, pasti ia merasakan sakit akibat
benturan. Hati Afira miris. Tak tega, sekaligus memaki maki dirinya sendiri
dalam hati. Sejak keluar dari pintu kost kak Imma, tak pernah terlintas bahwa
ia akan mengalami peristiwa seperti itu.
Seorang tim PMI
mengenakan kerudung merah, berwajah tirus membaringkan anak itu di tandu.
Memeriksa sekujur tubuhnya yang lunglai kalau kalau ada luka serius. Setelah ditemukan
luka, segera di olesi obat luka sejenis
betadin. Afira mengelus elus kepala anak itu penuh rasa kasih sayang sekaligus
rasa bersalah.
Ibu berkerudung hijau lumut dengan nada suara yang bersahabat mendiamkan tangis anaknya. “Anak sholeh yang kuat yah nak, anak mama yang paling rajin bangunin mama shalat subuh. Diam yah nak yah. Anak solehah mama pasti kuat.” Afira tertegun mendengar itu. Ia bungkam. Yang dapat ia lakukan hanyalah mengelus kepala anak itu perlahan. Berusaha menenangkan. Tangisan anak itu mengundang air mata Afira, benar benar tidak tega.
“Bagaimana
kronologisnya pada saat di tabrak? Apa motor yang menabrak mengendarai dengan
kecepatan tinggi atau biasa saja?” Tanya wanita berwajah tirus kepada Afira. Di
sangkanya mungkin Afira adalah kakak anak itu.
“Tidak begitu kencang
mengendarai. Saya tahu itu karena saya yang menabrak adik ini.”
“ InsyaAllah baik baik saja. Alhamdulillah tidak ada luka yang begitu parah. Benturan di kepala juga tidak begitu serius.”
“Terimakasih yah dek,
sudah mau memeriksa anak saya.” Ujar ibu itu kepada wanita tim PMI dengan
senyum simpul. Melihat dan mendengar hal itu, Afira merasa sedikit lega. Tadi ia
sempat dihantui rasa takut. Cemas dan kalang kabut. Apalagi ketika ibu itu tak
merespon permohonan maafnya sama sekali.
“Maafkan saya yah dek.
Juga ibu, tolong maafkan saya. Saya telah salah dan mengusik pagi ibu dengan
insiden seperti ini.” Ujar Afira dengan wajah memelas.
“Oh iya dik.”Ibu itu
terdiam sejenak. Menghela nafas lalu kemudian melanjutkan berujar.” Ada rencana
Allah di balik semua ini. Saya suka dengan sikap adik yang mau bertanggung
jawab. Mengakui kesalahan dan tak lari dari masalah.” Ucap ibu itu dengan mata
berbinar, ada perdamaian tersingkap di sana. “Kita berteman saja. Bisa saya
minta nomer adik?” Seraya mengambil ponsel di saku baju.
“Oh iya boleh bu’.
Dengan senang hati.” Respon Afira sambil melap wajahnya yang berlumur air mata.
Lalu kemudian menyebutkan angka angka berfariasi yang sudah barang itu berarti
nomer handphonnya. Plus perkenalan pun tercipta. Saling tukar nomer handphone.
(Cieee....)
“Terimakasih bu’ sudah berkenan memaafkan saya.” Ujar Afira seraya menghambur memeluk ibu itu.
Pemandangan yang mengharukan. Kalau di visualisasikan, suasana alam tiba tiba senyap dan ditandai dengan jeda. Semua berhenti bergerak, detak jam berhenti sejenak, dedaunan pun enggan berguguran. Hanya keheningan di padu musik klasik yang mengaharu biru. Siapa pun yang melihat, akan hanyut karena tersentuh hatinya.
Keadaan kembali seperti
semula. Keheningan tersungkur oleh keramaian peserta jalan santai yang berlalu
lalang di area jalan. Di antara mereka sesekali menoleh ke arah mereka yang baru
saja di landa peristiwa dramatis. Musik klasik yang dibayangakan pun buyar.
Semua kembali normal.
“Kalau begitu, Afira
mau pamit kembali melanjutkan perjalanan ke Maros yah bu’.”
“Oh iya dik Afira
hati-hati yah.” Pesan ibu yang kira kira berumur 32 tahun itu dengan senyum
simpul.
“Hhehehe iya bu’. Afira
cengengesan. Seraya mohon diri pamit dengan takzim. Lalu kemudian memeluk anak
perempuan cantik yang kira-kira berusia 4 tahun itu dengan hangat. Plus ciuman Afira mendarat
di kedua belah pipi ranum milik anak perempuan cantik itu. Ia baru saja bangkit
dari tandu yang menuntutnya tadi untuk di baringkan. Tangisnya yang histeris
juga sudah redah.
“ Sekali lagi maafkan kakak yah dik. Assalamu'alaikum.”
“ Sekali lagi maafkan kakak yah dik. Assalamu'alaikum.”
Afira pun beranjak.
Seketika dilihatnya dua bocah lain memeluk anak perempuan itu. Tak lain tak
bukan kedua bocah itu adalah saksi mata peristiwa dimana Afira menambrak
saudaranya.
“Subahanallah.” Bisik
Afira dengan mulut yang sedikit keluh. Pagi ini ia sadar, bahwa baru saja
dirinya di suguhkan sarapan pagi yang menyingkap pelajaran berharga. Entah
berapa lama durasi dari insiden itu. Tapi darinya pula banyak pelajaran yang
kemudian diam diam menyusup memenuhi dinding hatinya.
Ibu itu mengingatkannya pada ibunya sendiri.
Juga semua ibu yang ada di belahan dunia. Lihat betapa histerisnya sang ibu
ketika dengan mata kepalanya sendiri melihat anaknya terluka fisik karena suatu
kejadian.
Betapa paniknya seorang ibu, betapa khawatir
dan betapa betapa lainnya yang menggambarkan bahwa ibu menyayangi kita. Tak
tega melihat kita terluka. Bukan hanya itu, ibu itu mengajarkan bagaimana dalam
menyikapi suatu masalah. Bagaimana cara, dan pilihan bahasa yang di gunakan
sang ibu untuk membujuk anaknya agar reda tangisnya. Hatinya sudah benar benar
terlatih.
Tidaklah menyimpulkan
bahwa kejadian itu adalah petaka Allah yang di timpakan kepadanya, tapi
berlapang dada menerima. Berkhusnuzhon bahwa peristiwa itu sudah ada yang
mengatur, ada hikmah yang terselubung di setiap moment dan kejadian yang kita
alami.
Benar adanya, karena
dengan itu pula Afira mengambil hikmah. Ada pelajaran yang Allah ajarkan pagi
itu padanya. Belajar untuk lebih berhati hati dalam berkendara. Ibu itu sebagai
perantara jua mengajarkan kepadanya bagaimana menjadi ibu. Karena kelak Afira
jua akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, sekaligus sekolah pertama bagi malikat-malaikat yang lugu dan membanggakan.
Lega, Afira tersenyum
setelah tangisnya tadi. Ia segera menuju motor kesayangannya. Si Orens. Sahabat
terbaiknya yang selalu menemaninya setiap saat. Melewati setiap moment bersama.
Suka dan duka mereka lalui. Bahakan sepotong kisah yang membuat Afira tergugu
di pagi itu pun telah mereka lalui bersama.
Afira
berkelakar.”Orens, Ingatt jangan melakukan kesalahan yang sama. Anggap saja kejadian tadi adalah
sarapan pagi dengan menu yangberbeda dari biasanya. Kau tahu bukan, perutku
keroncongan, pagi ini aku belum makan. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Ada
tambahan sarapan yang menanti kita di rumah. Come on.”
*Disuatu pagi yang cerah di bulan Juli

Tidak ada komentar:
Posting Komentar