Kamis, 10 Juli 2014

Menu Sarapan Pagi yang Berbeda



Pernahkah kita sejenak merenung bagaimana cara kita menyikapi masalah selama ini? Sudah
bijakkah?
Ataukah kita masih saja setia mengutuk ngutuk gundah.?
***

“Kak, saya pamit yah.” Ujar Afira pelan. Yang dibangunkan membuka mata lamat-lamat. Lalu mengucek ngucek pelupuk maatnya yang masih dirundung kantuk. .

“Oh iya dek. Hmm..Dek Afira uda mau pulang?”

“Iya kak. Terimakasih tumpangannya yah kak.”
 
“Siip...besok besok mampir ke kost kk’ lagi yah. Jangan sungkan.”

“Oh iya kak, terimakasih”

“Hhaaaha,,iya dek sama sama. Hati hati yah.”
 

“Ok. Assalamualaikum” Seraya membuka kamar kost perlahan.

“Waalaikumsalam” Balas kak Imma parau. Mungkin karena kurang tidur. Lalu kemudian melanjutkan tidunya dengan pulas. Pagi itu kak Imma sangat mengantuk. Semalam Afira telah menyiksanya dengan bersungut sungut meminta  menahan kantuk berjam-jam.  Afira sangat ingin menyaksikan penutupan MIWF di Benteng Roterdam hingga usai. Imbasnya, mata panda pun tercipta. Kantong mata mendadak berat dan menghitam. 
Afira menuju parkiran motor. Pintu pagar sudah terbuka, nampak motor-motor masih terparkir rapi dengan anggunnya. Mungkin karena hari ahad. Tak ada jam kuliah atau bagaimana, entahlah. Penghuni di kost itu mungkin masih sarapan atau di sibukkan dengan rutinitas pagi yang lumrah. Afira menengok jam pada hpnya, pukul 07:00.

Mentari pagi sudah bersemangat memamerkan sinarnya. Akhh...saatnya pulang. Ujar Afira seraya menghidupkan mesin motornya. Suara motor pun nyaring berdesing, lalu mengendalikan gas dan rem. Meninggalkan tempat dan kemudian menyusuri jalanan yang sedikit berbatu. Tak ada aspal. Sekitar 15 meter  dari kost kak Imma baru kemudian  menemui aspal yang merupakan area UNHAS.

Pandangan menyapu keadaan sekitar. Jalanan nampak begitu ramai, ada perhelatan jalan santai rupanya. Jalan santai dalam rangka apa pun tak sempat terfikirkan oleh Afira. Pesertanya banyak, berhasil membentuk barisan yang lumayan panjang. Mereka mengenakan kaus berwarna putih dan ditaburi bercak pewarna merah. Mirip tradisi festival Holi di film India.

Afira melanjutkan perjalanan, menyusuri jalanan area Unhas yang teduh dan rindang. Menyusuri jalur berlawanan yang tidak dilintasi oleh peserta jalan santai. Terlalu ramai, dan berhasil menyita  perhatian Afira. 

Pandangan yang  tak lagi fokus ke depan. Jelalatan. Dan “Bruukkkkk..!!” Ada suara yang menjanggal, disusul suara tangis anak kecil yang histeris. Afira tercekat. Rem mendadak sontak di lakukannya. Seiring tubuhnya terjengkang, darahnya berdesir deras. Jantung yang berdegup kencang tak karuan. Blengg.

Seorang Ibu meraung, juga tak kalah histeris. Ia terduduk, kedua tangannya menutup wajahnya. Seolah tak sanggup melihat insiden itu di depan matanya. Peserta yang melintas mengarahkan pandangan ke arah Afira. Keluh. Afira memarkir motor begitu saja, sembarangan. Tak perduli.

Nampak seorang lelaki membantu memarkir motor Afira ke pinggir jalan, supaya tak menghalangi kendaraan lain yang lewat. Afira berlari kecil dengan raut wajah pucat pasi meraih anak kecil itu yang sudah tertelungkup. “maafkan kakak dek.!!” Ujar Afira tersendat. Meraih, membantunya berdiri dari situasi yang memilukan itu. Anak kecil yang nyaris mencium aspal.

Sang ibu yang menangis histeris tak kalah paniknya memeluk sang anak. Ada benjolan di kepala dan lecet di atas mulut. Berdarah. Dua bocah yang merupakan saudara anak itu nampak prihatin melihat kondisi saudaranya. Sang ibu yang memakai jilbab sedada itu tak perduli. Tak merespon permohonan maaf Afira.

Insiden itu menyita perhatian sekitar dalam seketika. Sebagian peserta jalan santai sontak mengerubungi. Salah satu dari mereka mengarahkan sang ibu untuk membawa anaknya ke mobil bercat merah yang terparkir di sebelah jalan tak jauh dari situ. Ada tim PMI  disana. Ibu itu benar-benar tak perduli dengan permohonan maaf Afira. Ia lebih memilih segera membawa anaknya untuk segera di beri pertolongan.
Afira menyusul, seketika ia mengingat sesuatu. Akh.... Ia berbalik menuju motornya, namun seorang peserta jalan santai yang simpati memberikan kunci motor dengan gantungan bunaken. Afira meraih kunci itu dengan bernafas lega.

Mungkin karena sedang dirasuki panik stadium akut, Afira lupa mengucapkan kalimat sederhana yang biasa di ucapkannya. Yakni lupa mengucapkan kata terimakasih kepada wanita yang telah menyelamatkan kunci motornya. Ia terlalu terburu buru berlari menyusul ibu itu. 
Anak malang yang berada di dekapan sang ibu masih saja menangis, pasti ia merasakan sakit akibat benturan. Hati Afira miris. Tak tega, sekaligus memaki maki dirinya sendiri dalam hati. Sejak keluar dari pintu kost kak Imma, tak pernah terlintas bahwa ia akan mengalami peristiwa seperti itu. 
Seorang tim PMI mengenakan kerudung merah, berwajah tirus membaringkan anak itu di tandu. Memeriksa sekujur tubuhnya yang lunglai kalau kalau ada luka serius. Setelah ditemukan luka, segera di olesi  obat luka sejenis betadin. Afira mengelus elus kepala anak itu penuh rasa kasih sayang sekaligus rasa bersalah.

 Ibu berkerudung hijau lumut dengan nada suara yang bersahabat mendiamkan tangis anaknya. “Anak sholeh yang kuat yah nak, anak mama yang paling rajin bangunin mama shalat subuh. Diam yah nak yah. Anak solehah mama pasti kuat.” Afira tertegun mendengar itu. Ia bungkam. Yang dapat ia lakukan hanyalah mengelus kepala anak itu perlahan. Berusaha menenangkan. Tangisan anak itu mengundang air mata Afira, benar benar tidak tega.

“Bagaimana kronologisnya pada saat di tabrak? Apa motor yang menabrak mengendarai dengan kecepatan tinggi atau biasa saja?” Tanya wanita berwajah tirus kepada Afira. Di sangkanya mungkin Afira adalah kakak anak itu.

“Tidak begitu kencang mengendarai. Saya tahu itu karena saya yang menabrak adik ini.”

“ InsyaAllah baik baik saja. Alhamdulillah tidak ada luka yang begitu parah. Benturan di kepala juga tidak begitu serius.”

“Terimakasih yah dek, sudah mau memeriksa anak saya.” Ujar ibu itu kepada wanita tim PMI dengan senyum simpul. Melihat dan mendengar hal itu, Afira merasa sedikit lega. Tadi ia sempat dihantui rasa takut. Cemas dan kalang kabut. Apalagi ketika ibu itu tak merespon permohonan maafnya sama sekali.

“Maafkan saya yah dek. Juga ibu, tolong maafkan saya. Saya telah salah dan mengusik pagi ibu dengan insiden seperti ini.” Ujar Afira dengan wajah memelas.
“Oh iya dik.”Ibu itu terdiam sejenak. Menghela nafas lalu kemudian melanjutkan berujar.” Ada rencana Allah di balik semua ini. Saya suka dengan sikap adik yang mau bertanggung jawab. Mengakui kesalahan dan tak lari dari masalah.” Ucap ibu itu dengan mata berbinar, ada perdamaian tersingkap di sana. “Kita berteman saja. Bisa saya minta nomer adik?” Seraya mengambil ponsel di saku baju.

“Oh iya boleh bu’. Dengan senang hati.” Respon Afira sambil melap wajahnya yang berlumur air mata. Lalu kemudian menyebutkan angka angka berfariasi yang sudah barang itu berarti nomer handphonnya. Plus perkenalan pun tercipta. Saling tukar nomer handphone. (Cieee....)

“Terimakasih bu’ sudah berkenan memaafkan saya.” Ujar Afira seraya menghambur memeluk ibu itu. 

Pemandangan yang mengharukan. Kalau di visualisasikan, suasana alam tiba tiba senyap dan ditandai dengan jeda. Semua berhenti bergerak, detak jam berhenti sejenak,  dedaunan pun enggan berguguran. Hanya keheningan di padu musik klasik yang mengaharu biru. Siapa pun yang melihat, akan hanyut karena tersentuh hatinya.
Keadaan kembali seperti semula. Keheningan tersungkur oleh keramaian peserta jalan santai yang berlalu lalang di area jalan. Di antara mereka sesekali menoleh ke arah mereka yang baru saja di landa peristiwa dramatis. Musik klasik yang dibayangakan pun buyar. Semua kembali normal.

“Kalau begitu, Afira mau pamit kembali melanjutkan perjalanan ke Maros yah bu’.”
“Oh iya dik Afira hati-hati yah.” Pesan ibu yang kira kira berumur 32 tahun itu dengan senyum simpul.
“Hhehehe iya bu’. Afira cengengesan. Seraya mohon diri pamit dengan takzim. Lalu kemudian memeluk anak perempuan cantik yang kira-kira berusia 4 tahun itu dengan hangat. Plus ciuman Afira mendarat di kedua belah pipi ranum milik anak perempuan cantik itu. Ia baru saja bangkit dari tandu yang menuntutnya tadi untuk di baringkan. Tangisnya yang histeris juga sudah redah.

“ Sekali lagi maafkan kakak yah dik. Assalamu'alaikum.”

Afira pun beranjak. Seketika dilihatnya dua bocah lain memeluk anak perempuan itu. Tak lain tak bukan kedua bocah itu adalah saksi mata peristiwa dimana Afira menambrak saudaranya.

“Subahanallah.” Bisik Afira dengan mulut yang sedikit keluh. Pagi ini ia sadar, bahwa baru saja dirinya di suguhkan sarapan pagi yang menyingkap pelajaran berharga. Entah berapa lama durasi dari insiden itu. Tapi darinya pula banyak pelajaran yang kemudian diam diam menyusup memenuhi dinding hatinya.

Ibu itu mengingatkannya pada ibunya sendiri. Juga semua ibu yang ada di belahan dunia. Lihat betapa histerisnya sang ibu ketika dengan mata kepalanya sendiri melihat anaknya terluka fisik karena suatu kejadian.

Betapa paniknya seorang ibu, betapa khawatir dan betapa betapa lainnya yang menggambarkan bahwa ibu menyayangi kita. Tak tega melihat kita terluka. Bukan hanya itu, ibu itu mengajarkan bagaimana dalam menyikapi suatu masalah. Bagaimana cara, dan pilihan bahasa yang di gunakan sang ibu untuk membujuk anaknya agar reda tangisnya. Hatinya sudah benar benar terlatih.

Tidaklah menyimpulkan bahwa kejadian itu adalah petaka Allah yang di timpakan kepadanya, tapi berlapang dada menerima. Berkhusnuzhon bahwa peristiwa itu sudah ada yang mengatur, ada hikmah yang terselubung di setiap moment dan kejadian yang kita alami.

Benar adanya, karena dengan itu pula Afira mengambil hikmah. Ada pelajaran yang Allah ajarkan pagi itu padanya. Belajar untuk lebih berhati hati dalam berkendara. Ibu itu sebagai perantara jua mengajarkan kepadanya bagaimana menjadi ibu. Karena kelak Afira jua akan menjadi ibu bagi anak-anaknya, sekaligus sekolah pertama bagi malikat-malaikat yang lugu dan membanggakan.

Lega, Afira tersenyum setelah tangisnya tadi. Ia segera menuju motor kesayangannya. Si Orens. Sahabat terbaiknya yang selalu menemaninya setiap saat. Melewati setiap moment bersama. Suka dan duka mereka lalui. Bahakan sepotong kisah yang membuat Afira tergugu di pagi itu pun telah mereka lalui bersama.

Afira berkelakar.”Orens, Ingatt jangan melakukan kesalahan yang sama. Anggap saja kejadian tadi adalah sarapan pagi dengan menu yangberbeda dari biasanya. Kau tahu bukan, perutku keroncongan, pagi ini aku belum makan. Ayo kita lanjutkan perjalanan. Ada tambahan sarapan yang menanti kita di rumah.  Come on.”  

*Disuatu pagi yang cerah di bulan Juli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar