Sabtu, 06 September 2014

Ambulance itu Lukaku


Seringkali kudengarkan, saat duduk manis menatap layar monitor natebook sambil meneguk segelas teh poci. Menikmati  suasana teduh sungai salewangeng, yang menjadi ciri khas kota Maros.
Warkop Dg. Te’ne.  Sesuatu yang sering kudengarkan itu  membuatku terusik. Lolongan familiar yang membuatku bergidik beberapa kali.

Letak warkop yang menjadi pusat keramaian, karena berdekatan dengan Jembatan yang merupakan penghubung  pusat kota menuju pasar sentral Maros. Kebisingan pun menjadi suguhan yang memekakan gendang telinga. Setiap kali ku duduk membuang penat, dan warkop itu adalah pilihan.

Bentuk dan wujud dari suara yang mengusikku itu adalah penampakan di pelupuk mataku. Berkutat oleh waktu yang menggali memoriku pada  kenangan yang pernah menguras air mata. Sesaat senyap ku termenung setiap kali ku dengarkan lolongan itu. Membuat ingatanku mundur. Kembali mengingat cerita mama, cerita tentang keluarga kita. Tentang sumber suara yang mengusikku.           

“Waktu itu mama sedang di rumah.” Ungkap mama dengan guratan wajah yang sendu. 
“Mama kaget sekali nak, tiba tiba suara sirine terdengar kian dekat seperti mengarah ke rumah kita."
 Air muka mama berubah, terlihat ada duka di sana. “Mama langsung teringat bapakmu yang saat itu tengah di rawat di rumah sakit. Akhhh…” Mama menarik nafas perlahan. Berat sekali nafasnya.
“Mama jangan menangis, aku juga ikut sedih maaa.” Pintaku sedikit memelas, saat kulihat bulir di mata mama tak terbendung lagi.
“Tapi, mama masih bisa bernafas lega saat itu, meskipun tetap sedih. Karena ternyata suara itu mengarah ke rumah Om Mansael.”
“Om mansael yang di belakang rumah kita? Yang divonis  penyakit TBC?” Tanyaku serius.
“Iya nak, yang itu.”
“Innalillah. Lantas, setelah hari itu?”  Tanyaku ingin lebih tahu.

Tapi mama menatap luruh jatuh seperti tak mampu menceritakan lebih detail kepadaku. Tak ku paksa mama tuk bertutur lebih lanjut. Biar kuramu tanda tanyaku sendiri, Aku tahu, luka itu belum sembuh. Karena aku juga merasakan perih yang menohok.

Mama melanjutkan.

“Setelah itu, mama kembali ke rumah sakit. Suara sirine  membuat mama takut. Takut jika itu terjadi pada bapakmu. Mama kembali merawat seperti biasa, tak mau kemana mana. Alhamdulillah,  kerabat terdekat di wamena datang membesuk.”
“Dan aku? Aku tak ada di sana. Tak membantu merawat bapak yang tengah sakit. Anak macam apa aku ini.?”
“Kenapa berkata seperti itu nak? Bukan kesalahanmu. Itu karena kita berjauhan. Kan sekolahnya di sini.”
“Andai aku tahu, bapak akan meninggalkan  kita untuk selamanya, aku tak akan mau pulang ke Maros maa.” Ujarku dengan mata berkaca kaca.
“ Itu sudah bagian dari cobaan yang Allah gariskan dalam keluarga kita nak.”

Seperti sore itu, masih di warkop Dg Te’ne. Setiap duduk dan aku ada disana, pasti saja suara sirine itu lewat dan menghantam kediamanku dalam seketika. Aku rindu. Rindu yang menyayat hati. Tiba tiba aku rindu pada ayah.

Selang beberapa hari, mama melanjutkan tetesan tetesan pilu itu.

“Kau harus kuat dan menerima bapakmu  meninggal di tanah rantau.” Ujar mama di malam senyap penuh nostalgia akhir desember.
“Aku mencoba berusaha menerima itu maa, tapi aku ingin menziarahi makam almarhum. ” Timpalku seraya memandang ke luar jendela. Nampak embun hujan bertebaran bening menggiurkan di kaca.
“Bapakmu terlalu mencintai tanah rantau nak. Hingga jasadnya pun di kebumikan di tanah rantau yang dicintainya itu. Berdo’alah semoga Allah memperkenankanmu untuk menziarahi makam almarhum.”
“Aku rindu maa…Aku rindu bapak.!” Aku terisak. Bapak aku merindukanmu. Mama meraihku, memelukku erat. Bersamaan dengan itu, tangis kami pecah. 

Hujan akhir Desember kembali mengguyur.  Langit seolah ikut hanyut dalam pilu. Ikut merasakan sendunya hati kami malam itu. Aku tenggelam dalam dekapan mama. Aku termenung seketika. Aku harus tetap bersyukur, masih dapat di dekap oleh mama. Orang tuaku satu satunya saat ini. Hatiku berbisik lirih. Ada setangkup do’a yang membelai sukmaku.
 
Entah sudah sekian kali aku meradang sendiri oleh luka itu. Luka karena ku ingat bapak. Saat ambulance dengan sirinenya mengaung mengabarkan kepada jagat raya tentang duka di ujung sana. Entah duka itu di timpakan kepada siapa? Atau saat duka menjalar kepada kerabat kami yang lain. Aku sering mendengar itu.

Tapi bagaimana dengan luka itu? Dan mengapa aku harus merasa terluka? Bukankah ambulance tak pernah salah padaku? Akhh…bukan itu. Tapi aku sedih karena tak menemani mama merasakan sakit bak tersayat belati saat mendengar sirine itu mengarah ke rumah kami. Membawa jasad bapak yang terbujur kaku kian renta. Apa daya, dan ragaku yang kerdil ini tak dapat mencium dan memeluk jasad bapak untuk terakhir kalinya.

Seperti saat aku membuang penat setelah ashar. Di tempat yang sama, warkop Dg Te’ne. Aku terkesiap, sirine ambulance mampir lagi di gendang telingaku. Melintasi jembatan itu dengan lenggangnya. Aku terhenyak, kembali bernostalgia dengan luka itu. Ku nikmati saja. Sudahlah pasrah dan tetaplah berdo’a, bujukku pada diri sendiri. Meski bola bening yang bersumber dari mata sayuku bergelinding,  mengalir deras  hingga ke tepi kerudungku.

-__- Rahma Aulia
13 April 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar