Seringkali kudengarkan, saat duduk manis menatap
layar monitor natebook sambil meneguk
segelas teh poci. Menikmati suasana
teduh sungai salewangeng, yang menjadi ciri khas kota Maros.
Warkop Dg.
Te’ne. Sesuatu yang sering kudengarkan
itu membuatku terusik. Lolongan familiar yang membuatku bergidik beberapa
kali.
Letak warkop yang menjadi pusat keramaian, karena
berdekatan dengan Jembatan yang merupakan penghubung pusat kota menuju pasar sentral Maros.
Kebisingan pun menjadi suguhan yang memekakan gendang telinga. Setiap kali ku duduk
membuang penat, dan warkop itu adalah pilihan.
Bentuk dan wujud dari suara yang mengusikku itu adalah
penampakan di pelupuk mataku. Berkutat oleh waktu yang menggali memoriku
pada kenangan
yang pernah menguras air mata. Sesaat senyap ku termenung
setiap kali ku dengarkan lolongan itu. Membuat ingatanku mundur. Kembali
mengingat cerita mama, cerita tentang keluarga kita. Tentang sumber suara yang
mengusikku.
“Waktu itu mama sedang di rumah.” Ungkap mama dengan
guratan wajah yang sendu.
“Mama kaget sekali nak, tiba tiba suara sirine
terdengar kian dekat seperti mengarah ke rumah kita."
Air muka mama berubah,
terlihat ada duka di sana. “Mama langsung teringat bapakmu yang saat itu tengah
di rawat di rumah sakit. Akhhh…” Mama menarik nafas perlahan. Berat sekali
nafasnya.
“Mama jangan menangis, aku juga ikut sedih maaa.”
Pintaku sedikit memelas, saat kulihat bulir di mata mama tak terbendung lagi.
“Tapi, mama masih bisa bernafas lega saat itu,
meskipun tetap sedih. Karena ternyata suara itu mengarah ke rumah Om Mansael.”
“Om mansael yang di belakang rumah kita? Yang divonis penyakit TBC?” Tanyaku serius.
“Iya
nak, yang itu.”
“Innalillah.
Lantas, setelah hari itu?” Tanyaku ingin
lebih tahu.
Tapi mama menatap luruh jatuh seperti tak mampu
menceritakan lebih detail kepadaku. Tak ku paksa mama tuk bertutur lebih
lanjut. Biar kuramu tanda tanyaku sendiri, Aku tahu, luka itu belum sembuh. Karena
aku juga merasakan perih yang menohok.
Mama melanjutkan.
“Setelah itu, mama kembali ke rumah sakit. Suara
sirine membuat mama takut. Takut jika
itu terjadi pada bapakmu. Mama kembali merawat seperti biasa, tak mau kemana
mana. Alhamdulillah, kerabat terdekat di
wamena datang membesuk.”
“Dan aku? Aku tak ada di sana. Tak membantu merawat
bapak yang tengah sakit. Anak macam apa aku ini.?”
“Kenapa berkata seperti itu nak? Bukan kesalahanmu. Itu
karena kita berjauhan. Kan sekolahnya di sini.”
“Andai aku tahu, bapak akan meninggalkan kita untuk selamanya, aku tak akan mau pulang
ke Maros maa.” Ujarku dengan mata berkaca kaca.
“ Itu
sudah bagian dari cobaan yang Allah gariskan dalam
keluarga kita nak.”
Seperti sore itu, masih di warkop Dg Te’ne. Setiap
duduk dan aku ada disana, pasti saja suara sirine itu lewat dan menghantam
kediamanku dalam seketika. Aku rindu. Rindu yang menyayat hati. Tiba tiba aku
rindu pada ayah.
Selang beberapa hari, mama melanjutkan tetesan
tetesan pilu itu.
“Kau harus kuat dan menerima bapakmu meninggal di tanah rantau.” Ujar mama di malam
senyap penuh nostalgia akhir desember.
“Aku mencoba berusaha menerima itu maa, tapi aku
ingin menziarahi makam almarhum. ” Timpalku seraya memandang ke luar jendela.
Nampak embun hujan bertebaran bening menggiurkan di kaca.
“Bapakmu terlalu mencintai tanah rantau nak. Hingga
jasadnya pun di kebumikan di tanah rantau yang dicintainya itu. Berdo’alah
semoga Allah memperkenankanmu untuk menziarahi makam almarhum.”
“Aku rindu maa…Aku rindu bapak.!” Aku terisak. Bapak
aku merindukanmu. Mama meraihku, memelukku erat.
Bersamaan dengan itu, tangis kami pecah.
Hujan akhir Desember kembali mengguyur. Langit
seolah ikut hanyut dalam pilu. Ikut merasakan sendunya hati kami malam itu. Aku
tenggelam dalam dekapan mama. Aku termenung seketika. Aku harus tetap
bersyukur, masih dapat di dekap oleh mama. Orang tuaku satu satunya saat ini.
Hatiku berbisik lirih. Ada setangkup do’a yang membelai sukmaku.
Entah sudah sekian kali aku meradang sendiri oleh
luka itu. Luka karena ku ingat bapak. Saat ambulance dengan sirinenya mengaung
mengabarkan kepada jagat raya tentang duka di ujung sana. Entah duka itu di
timpakan kepada siapa? Atau saat duka menjalar kepada kerabat kami yang lain. Aku
sering mendengar itu.
Tapi bagaimana dengan luka itu? Dan mengapa aku
harus merasa terluka? Bukankah ambulance tak pernah salah padaku? Akhh…bukan
itu. Tapi aku sedih karena tak menemani mama merasakan sakit bak tersayat
belati saat mendengar sirine itu mengarah ke rumah kami. Membawa jasad bapak
yang terbujur kaku kian renta. Apa daya, dan ragaku yang kerdil ini tak dapat
mencium dan memeluk jasad bapak untuk terakhir kalinya.
Seperti
saat aku membuang penat setelah ashar. Di tempat yang sama, warkop Dg Te’ne.
Aku terkesiap, sirine ambulance
mampir lagi di gendang telingaku. Melintasi jembatan itu dengan lenggangnya.
Aku terhenyak, kembali bernostalgia dengan luka itu. Ku nikmati saja. Sudahlah
pasrah dan tetaplah berdo’a, bujukku pada diri sendiri. Meski bola bening yang
bersumber dari mata sayuku bergelinding,
mengalir deras hingga ke tepi kerudungku.
-__- Rahma Aulia
13
April 2014

Tidak ada komentar:
Posting Komentar